Jumat, 18 Juli 2014

Dari Sini Petualangan Dimulai

Backpacking bareng Ale kali ini semuanya serba mendadak. Akhir Mei, tiba-tiba saja ia menelpon dan menanyakan kesiapan untuk “bertualang” ke 3 negara; Singapura, Malaysia dan Thailand (meski akhirnya Singapura di skip dengan pertimbangan selain sudah pernah dikunjungi, negara pulau ini tidak begitu menantang untuk backpacker seperti kami). 

Secara finansial –apalagi untuk perjalanan 11 hari- tentu saja aku belum siap. Dadakan sih. Namun Ale memberi banyak kemudahan untuk hal “penting” tersebut. Dan akhirnya kami sepakat tanggal berapa aku sudah harus tiba di Kuala Lumpur sebagai kota transit mengawali petualangan kami. Perjalanan ini juga awalnya direncanakan menggunakan kereta api sebagai pilihan utama transportasi menuju beberapa destinasi menarik di Thailand.

8 Juni 2014. Pukul 1: 35 siang waktu Malaysia. AirAsia yang kutumpangi dari Medan mendarat mulus di KLIA2, sebuah airport yang baru saja dioperasikan sejak diresmikan 9 Mei 2014 lalu. Terminal baru ini sekaligus menandakan sebuah babak baru pelayanan prima AirAsia bagi kepuasan pelanggan mereka. 

Warna putih mendominasi tampilan second skin bangunan modern dengan desain futuristic. Dua kata untuk airport baru,  nyaman dan berkelas. Meski penumpang pesawat harus berjalan kaki agak jauh dan harus naik satu escalator yang cukup tinggi untuk tiba di counter imigrasi. Namun berada di disini membuat kita seakan lupa jika sedang berada dalam terminal sebuah airport, banyak penumpang mengakui mereka seperti sedang berada di dalam sebuah mall modern. Aku setuju dan sangat menikmatinya. 

Beberapa tahun belakangan, Kuala Lumpur amatlah familiar bagi ku. Ada banyak teman disini. Namun kali ini, negara semenanjung ini hanya sebagai negara transit, kedatangan sekaligus kepulangan ke Indonesia. Malaysia tak perlulah aku ceritakan lagi, bagaimana kesiapan negara berpenduduk 30 juta jiwa ini menyambut para turis. Mulai dari infrastruktur yang luar biasa bagus, pilihan moda transportasi massal yang nyaman dan tepat waktu, akomodasi berkelas hingga budget hotel yang bersih dan destinasi wisata dengan kemasan yang sangat-sangat menarik. Dan tentu saja Kuala Lumpur sangat memanjakan lidah para pecinta kuliner dari seluruh dunia. Itu sebabnya, setiap tahun mereka mampu mendatangkan turis hampir sama banyak dengan jumlah penduduknya.

Beberapa hari sebelum tiba di Kuala Lumpur, aku telah membuat janji bertemu keluarga Bang Azri dan Masra Yahya, pasangan yang sudah memiliki 3 orang anak yang cukup akrab dengan ku. Hal yang paling membahagiakan saat bertemu budak-budak (anak-anak) itu adalah ketika mereka memanggilku “Abang Arie”. Bukankah seharusnya mereka memanggilku "uncle". Tapi ya sudahlah, mungkin mereka merasa wajahku gak jauh beda sama wajah mereka. Eiittsss, jangan protes!. 

Janji berjumpa Keluarga ini di KLIA2 terlaksana juga, mereka memberikan 2 buah buku best seller Malaysia. Aku Ingin Kembara Lagi dan Cerita Cinta Ahmad Ammar. Judul terakhir adalah buku yang sudah lama aku niatkan untuk dibeli jika ada di KL. Alhamdulillah, akhirnya dapat gratis. Terima kasih.

Menjelang sore, Ale yang sudah berada di Kuala Lumpur sejak tanggal 6 Juni menyusul ketibaan ku di KLIA2. Begitu melewati pintu arriving hall ……jreng jreng, disinilah petualangan 11 hari 10 malam dimulai. Hal selanjutnya yang dilakukan adalah harus segera keluar dari gedung ini. Sudah tak tahan karena aroma petualangan sudah menyebar dan tercium dimana-mana. Aha.

Begitu turun ke lantai dasar KLIA2, kami menemukan loket Aerobus Express. Tanya-tanya sesaat, setelah itu langsung membayar 10 Ringgit untuk setiap orang. Tujuannya tentu saja KL Sentral. Lalu kami mengikuti beberapa penumpang lain ke luar gedung menunggu bus berangkat di platform A5. Sekitar jam 8 malam bus berhenti di KL Sentral, tanpa pikir panjang lagi langsung berlari menuju lantai atas KL Sentral untuk memesan tiket kereta api jurusan Hatyai, Thailand.

Tiba di loket reservasi, bukan kabar baik yang di dapat. Seluruh tiket kereta api tujuan ke beberapa kota di Thailand sold out sampai tanggal 16 Juni. Begitu juga dengan kota-kota penghubung /hub menuju Thailand yang ada di Malaysia seperti Butterworth. Ternyata kedatangan kami bertepatan dengan libur sekolah di seluruh Malaysia.  Huwaaaaaaa….gagal deh rencana overland dengan kereta api!

Tak kehilangan akal, kami turun ke lantai bawah KL Sentral mencari LRT tujuan terminal bus Pudu. Tiba di Pudu sudah agak larut, baru sadar ternyata belum makan malam.  Kami rehat sekaligus makan "larut" malam di kaki lima samping 7 eleven diseberang Terminal Pudu.

Urusan perut selesai, bergegas balik ke gedung terminal bus Pudu untuk hunting tiket. Lampu-lampu di hampir semua loket yang berjajar di dalam terminal bus Pudu masih terang benderang meski sudah hampir jam 11 malam. Wajah para petugas loket masih terlihat ramah. pertanda mereka masih menawarkan perjalanan dengan tujuan kota-kota di Malaysia (kecuali kota-kota di Malaysia Timur) dan beberapa kota di Thailand. Beberapa petugas penghubung loket berbicara melalui handy talkie kepada petugas bus diluar terminal. Ada kesibukan dimana-mana. Tapi malam itu, lagi-lagi kami kecewa. Tujuan ke Hatyai hampir semuanya full. Hanya ada beberapa bus yang masih tersisa satu kursi. Jelas gak mungkin.  Kalaupun ada 2 kursi tersisa, mereka memberi harga yang cukup tinggi. Ogah ah.

Akhirnya aku dan Ale memutuskan mencari bus tujuan Hatyai di luar gedung terminal.  Disudut antara jalan Pudu dan jalan Tun Tan Cheng Lock. Dibawah langit malam dan diantara riuh rendah suara mesin kendaraan, kami bergabung dengan para traveler yang akan mewujudkan perjalanan mereka. Bukan hanya orang-orang muda, banyak juga keluarga muda mengikutkan anak-anak mereka menunggu bus untuk perjalanan malam itu. Beruntungnya, sebagian besar dari mereka telah memiliki tiket. Nah, kami berdua jauh-jauh dari Indonesia cuma bermodalkan untung-untungan. Dapat tiket bus ke Hatyai, untung. Kalau gak dapat, yaaahhhh itu namanya belum rezeki. #mencoba berjiwa besar. Hahahaaaa.

Beberapa kali aku mendekati bus yang sedang menaikkan penumpang tujuan Hatyai, menanyakan apakah masih ada seat kosong untuk 2 orang. Semua melambaikan tangan atau menggelengkan kepala sebagai tanda tak ada kursi kosong. Duh, perasaan saat itu benar-benar seperti pencari kerja yang berkali-kali ditolak oleh pemilik perusahaan. Huwaaaaaaa…..nangis!

Lho, anak cowok gak boleh nangis. Yang sabar eeaaaaaa *mendadak alay. Eh, benar saja apa kata orang-orang, sabar itu emang buahnya manis. Lewat pukul 12 malam, ada satu bus tingkat jurusan Hatyai yang mengizinkan kami ikut mereka -mungkin kondekturnya gak tega lihat tampangku yang memelas- meski penumpang sudah penuh. Meski penumpang sudah penuh? Hmmmmmm, bencana apalagi ini.

Ya, malam itu kami diizinkan ikut bus “Cepat Sedia”, tapi masuk ke ruang penyimpanan bagasi penumpang. Tidur diantara tumpukan koper para penumpang yang duduk manis ditingkat dua. Eitsss, jangan salah. Ini bukan bencana buat kami. Justru ini anugrah. Bagian bagasi sekaligus ruang tidur kondektur bus yang terletak di bawah ternyata jauh lebih nyaman. Selain AC berfungsi maksimal, kami bisa tidur sambil selonjor diatas sofa. Wuuiiiihhh, enaknya. Saking letih, aku sampai lupa mendokumentasikan ruang bagasi yang lega untuk kami berdua. Heheheeeee

Pengalaman malam pertama menuju Hatya emang melelahkan. Tapi tak mungkin juga dilupakan karena hari-hari berikutnya petualangan kami diisi oleh pengalaman lucu sekaligus menguji kesabaran. Pengalaman-pengalaman tak terduga bahkan jauh diluar prediksi. Mulai dari petugas imigrasi wanita Thailand di perbatasan yang jutek. Sama juteknya dengan pramugari bus jurusan Hatyai-Bangkok. Hmmmmm….mungkin ia lagi datang bulan atau mungkin dirumah baru saja bertengkar dengan suaminya yang ketahuan selingkuh atau mungkin ibu mertuanya merongrong untuk segera punya anak. Halahhhh, kok kayak sinetron? Lupakan!

Atau pengalaman seru lain seperti; betapa senangnya ketemu halal food restaurant di beberapa kota di Thailand, meski harus jalan kaki sampai pegal untuk tiba disitu. Berurusan di kantor polisi Yanawa di kota Bangkok gara-gara dompet. Kesalnya ditilang (saman) polisi Chiang Mai. Dibutuhkan kesabaran tingkat tinggi saat mendengar orang Thailand ngomong pakai bahasa Inggris (karena itu senang sekali ketika berjumpa dengan orang-orang selatan Thailand yang paham bahasa Melayu). Supir taxi Phuket yang gemetaran karena aku marahin. Setelah itu aku merasa sangat berdosa.

Pengalaman paling berharga lainnya adalah dapat mewujudkan impian sholat di masjid Jawa di kawasan Satun, Bangkok. Hal ini diluar prediksi, ternyata Bukan hanya 1 masjid tapi ada 2 masjid bersejarah yang memiliki keterkaitan dengan Indonesia di Bangkok.  Bertemu kenalan muslim di Hatyai,  Bangkok dan Phi-Phi island. Oh ya, senangnya punya waktu untuk island hopping di kepulauan Phi Phi. Ketika ngubek-ngubek kota Bangkok dengan tuk-tuk, BTS Sky Train, bus kota hingga perahu di sungai Chao Phraya, kami menyaksikan betapa Warga kota Bangkok sangat tertib dan teratur saat menggunakan transportasi umum. Tidak ada yang main serobot. Begitupun saat antri. Pun, melihat langsung bagaimana warga kota Bangkok menghormati raja mereka.

Itu semua adalah pengalaman tak ternilai dan tak mungkin bisa dilupakan. Semuanya aku “rekam” dalam beberapa postingan di blog ini (Segera). 


Khop kun krap. Terima kasih. Selamat membaca nantinya. :D

Berwisata Ke Kantor Polisi Bangkok!

Meski  panas menyengat, cuaca ekstrem kota Bangkok siang itu tak sedikitpun menyurutkan langkah kami untuk tetap menjalankan rencana yang sudah disusun; berburu halal food, motret dan keliling distrik Bangrak yang juga berdekatan dengan sungai Chao Phraya.  Tapi sayang, apa yang ingin kami lakukan tak semulus seperti yang direncanakan. Selasa siang pada 10 Juni 2014 lalu, sebagian besar waktu jalan-jalan kami harus “terpotong” oleh urusan dengan pihak kepolisian kota Bangkok. 

Siang itu aku harus berurusan di kantor polisi Yanawa di distrik Bang Rak, tapi bukan gara-gara tindak kriminal atau pelanggaran yang dilakukan. Ini murni karena sebuah dompet. Ya, sebuah dompet kulit warna coklat yang ku temukan dalam perjalanan bus malam Hatyai-Bangkok.

Ceritanya begini, menjelang mendekati pusat kota Bangkok, di dalam bus aku pindah posisi duduk agar mudah memotret sebagian ibukota Thailand di pagi hari dari sisi kiri bus. Apalagi saat itu, tidak banyak penumpang di dalam bus jurusan Hatyai-Bangkok, jadi dapat lebih leluasa bergerak pindah posisi tempat duduk.

Malah seorang penumpang lelaki yang menempati kursi didepan kami sudah turun sejak awal disuatu tempat sebelum perbatasan kota Bangkok.  Nah bekas kursi si penumpang ini yang aku duduki. Masih di kursi yang sama, selepas memotret aku memindahkan selimut yang sejak tadi kududuki ke kursi sebelah. Tiba-tiba sebuah dompet yang terselip diantara lipatan selimut jatuh tepat disamping kakiku. Pastilah dompet itu milik lelaki yang semalam duduk dihadapan kami.

Awalnya aku ingin menyerahkan dompet tersebut kepada pramugari bus. Namun karena sejak awal kami sudah mengalami hal  yang kurang menyenangkan dengan si pramugari, akhirnya ku urungkan niat tersebut.

Selanjutnya dompet ku masukkan kedalam saku samping celana cargo yang kupakai kala itu. Aku berpikir, ahh nanti saja kuserahkan dompet itu ke kantor polisi yang pertama kami jumpai, dimanapun itu di kota Bangkok. Atau opsi lain adalah membuka dompet setiba di terminal dan berharap ada nomor telepon yang dapat dihubungi atau mengirimkan via pos ke alamat yang tertera di ID card pemilik dompet.

Sesimple itu kah? Nah, ketika ada kesempatan membuka dompet di area terminal bus, disinilah masalah muncul. Kenapa? Uangnya terlalu sedikit ya? Bukan! Bukan itu masalahnya tapi tidak ada satupun isi dompet yang bisa kubaca. 

Aku baru sadar,  bukankah saat ini kami sedang berada di negeri gajah putih dimana hampir semua huruf didominasi oleh aksara Thai. Termasuk kartu pengenal, ATM atau apapun itu. Yang dapat dibaca cuma angka-angka. Selebihnya tentu saja buta, maksudnya buta aksara Thai. Jangankan aksara thai, menghafal huruf-huruf hijaiyah saja belum lulus. Ihiks.

Sejak awal aku tidak mau menceritakan kepada Ale, biar keadaan tak bertambah panik. Aku tak mau mengawali pagi kami di Kota Bangkok dengan debat dan diskusi atau opsi-opsi bagaimana membuat dompet itu kembali kepada si pemilik. Biar saja aku yang berfikir. Aku percaya, sejauh ada niat baik untuk mengembalikan dompet kepada pemiliknya tanpa ada niat mengurangi isi dompet, In Sya’ Allah pasti Allah menuntun aku dengan cara Nya membuat keadaan dimana dompet akan sampai ke tangan pemiliknya dan aku pun tenang dalam melakukan perjalanan.

Sewaktu keluar dari satu stasiun BTS sky line ke stasiun berikutnya atau saat berjalan kaki menuju ke beberapa destinasi wisata di kota Bangkok, aku selalu melihat ke kiri-kanan berharap ketemu kantor polisi. Tapi tetap saja yang kucari tidak ada.

Sampai akhirnya, pada saat sujud terakhir sholat zuhur di masjid Ban Oou, tiba-tiba terlintas di benakku “Kenapa tidak diberikan saja kepada Imam masjid untuk diserahkan kepada pemilik dompet?” Ehh, ketahuan deh kalau sholatnya gak khusyuk. Hahahahaaa.
Benar juga, selesai berdoa aku langsung menjumpai Imam masjid Ban Oou. Aku ceritakan tentang dompet yang kutemukan didalam bus apa adanya. Disini juga Ale baru kuberitahu.

Peran Imam masjid Ban Oou cukup besar. Ia akhirnya memfasilitasi aku bertemu dengan pihak Centre Point Hotel, sebuah hotel bintang empat yang letaknya berdampingan dengan masjid Ban Oou. Lalu salah seorang pegawai hotel ditugaskan khusus untuk mengantar kami ke kantor polisi. Sang imam meminta maaf tidak dapat ikut ke kantor polisi karena saat itu hanya ia sendiri yang menjaga masjid.

Tiba di kantor polisi Yanawa, kami disambut ramah oleh Pak Chankul Jumruschai. Ia mempersilakan kami masuk ke ruangannya. Senang sekali bisa ketemu ruangan ber-AC setelah berpanas-panas diluar. Selanjutnya aku dan pak Chankul duduk saling berhadapan. Hanya dipisah oleh meja kerjanya. Berceritalah aku padanya mengenai penemuan dompet secara kronologis. Saat kuserahkan dompet, ia juga meminta passport ku. Lalu passport berpindah tangan kepada anak buah pak Chankul yang sedang menyiapkan berita acara. 

Aku pikir, urusan aksara Thai sudah berakhir ternyata saat diserahkan lembar berita acara oleh anak buah pak Chankul untuk ditandatangani, lagi-lagi seluruh isi kertas didominasi huruf-huruf Thai. Yang dapat dibaca cuma nama ku dan angka-angka. Ooh tidaaaaaakkkkkkkkkk. Tapi ya sudahlah, tanda tangan saja dulu, yang penting dompet dapat segera sampai kepada pemiliknya. 

Oh ya, ada yang bisa tolong terjemahkan isi berita acara yang ada difoto samping kanan ini? Ah sudahlah, gak penting juga.

Yaahhhh....meski hari itu jalan-jalan kami harus berakhir di kantor Polisi Yanawa di distrik Bang Rak, sehingga membatalkan kunjungan ke beberapa destinasi di kawasan Silom tapi aku masih tetap berfikir positif. Bukankah tidak semua orang dapat mengalami seperti apa yang telah kami alami, “Berwisata Ke Kantor Polisi Bangkok”. Ahaa.

Masjid Jawa dan Kontribusi Muslim Indonesia Untuk Bangkok.

Tidak banyak yang tahu jika muslim Indonesia sejak awal abad 20 telah ikut berperan dalam perkembangan Islam di kota Bangkok. Hingga kini  ada beberapa peninggalan bersejarah berupa masjid yang dibangun oleh orang Indonesia yang masih berdiri kokoh dan menjadi saksi perkembangan islam di sebuah negara dimana penganut Budha adalah mayoritas. Salah satunya adalah Masjid Jawa (Jawa Mosque) di kawasan Sathorn, ditengah kota Bangkok. Masjid ini dapat dikunjungi –jika punya banyak waktu- oleh siapa saja yang melawat Thailand.

Pada saat googling masjid-masjid yang ada di Thailand, aku ketemu beberapa link tentang masjid Jawa. Tentu saja ini cukup menarik. Itu sebabnya, sejak awal rencana perjalanan ke Thailand, aku sudah memberi tahu mengenai keinginan ku kepada Ale (teman seperjalanan) agar meluangkan waktu mengunjungi sekaligus sholat di masjid Jawa. Walaupun pada akhirnya hanya aku yang punya waktu ke masjid tua bersejarah yang memiliki keterkaitan dengan Indonesia.

Masjid ini memiliki banyak kesamaan dengan  masjid-masjid tua di nusantara. Tanpa kubah, tanpa menara. Ciri khas utama masjid ini adalah konstruksi atapnya berbentuk joglo tiga lapis. Jawa-sentris, sesuai dengan namanya.

Masjid Jawa memiliki denah bujursangkar dan disisi barat terdapat dinding bangunan menonjol untuk mihrab. Dari dalam bangunan terlihat bahwa  ia ditopang oleh 4 tiang utama (soko guru). Melihat tiang-tiang utama itu mengingatkan aku saat pertama kali mengunjungi masjid tua dan bersejarah di Kota Demak, Jawa Tengah 16 tahun lalu.  Ya, Masjid ini seperti sebuah representasi masjid Demak yang identik dengan para muslim dari Jawa. Dan terasa begitu istimewa karena secara geografis, ia sangat jauh dari pulau Jawa.

Bagian atap pada serambi yang ada disisi utara dan selatan sudah ditambah untuk menampung aktifitas sosial. Bahkan penambahan yang signifikan tampak pada sisi timur masjid. Penambahan sekaligus pelebaran ruang masjid ini untuk menampung jumlah jamaah yang membludak pada saat ramadhan dan perayaan hari-hari besar umat islam.

Pada salah satu sudut ruang yang berada di sisi timur diletakkan sebuah bedug tua besar. Konon menurut penuturan warga, dulunya bedug ini dibunyikan saat azan akan dikumandangkan

Masih satu area dengan masjid, tepatnya dibagian timur terdapat sebuah rumah kayu tinggi. Pada siang hingga menjelang sore,  bagian bawah rumah panggung tersebut digunakan untuk menampung kegiatan membaca Al Quran bagi anak-anak usia sekolah.

Kini kawasan sekitar Masjid Jawa tidak lagi didominasi oleh orang-orang keturunan Jawa saja. Beragam ras dari Asia Selatan seperti muslim Bangladesh dan Pakistan juga menempati kawasan ini. Seperti hari itu, sebelum sempat masuk kedalam masjid, aku bertemu dua orang muslim Bangladesh yang dengan ramah menunjukkan sekaligus mengantar ke lokasi story board yang menjelaskan tentang masjid Jawa.

Berjarak 60 meter dari masjid, dipinggir sebuah pertigaan jalan kecil berdiri satu story board yang menceritakan sejarah pembangunan masjid Jawa, ditulis dalam 2 bahasa, Thai dan Inggris. Jika diterjemahkan berbunyi seperti tulisan dibawah ini;

Pada masa pemerintahan King Mongkut (Rama IV), sejumlah orang-orang Jawa dari Indonesia melakukan perdagangan dan akhirnya beberapa diantara mereka  menetap di Thailand. Sebagian menyebar dan menetap di lorong Old Ice Factory, subdistrik Kokkrabue, distrik Bangrak, di selatan kanal Sathorn (sekarang bagian dari kawasan Yanawa, distrik Sathorn). Selanjutnya pada masa Raja Chulalongkorn berkuasa (Raja Rama V), Beliau mempekerjakan orang-orang Jawa untuk membangun taman di Grand Palace dan gedung pemerintah. Pada akhirnya banyak orang Jawa tiba dan bermigrasi dengan cepat. Di Bangkok, mereka diizinkan untuk membangun sebuah masjid sebagai pusat sosialisasi bagi orang Jawa yang sudah menetap dan para pekerja Jawa pada masa tersebut.

Pada Tahun 1945, Hadji Muhammad Soleh bin Hasan, seorang pedagang jawa telah menyumbangkan beberapa bidang lahan, termasuk 12 wa di sebelah barat, 14 wa di sebelah timur dan 12 wa di sebelah utara. (Total 556 meter persegi) untuk membangun sebuah masjid. Arsitektur masjid ini sangat kental dengan langgam Jawa Tengah. Bangunan satu lantai dengan atap berlapis. Jawa Mosque didirikan atas kerjasama orang-orang jawa dan masyarakat muslim yang ada di Bangkok. Selanjutnya Hadji Muhammad Soleh bin Hasan ditunjuk sebagai imam pertama untuk masjid ini. Kemudian, pada 29 November 1948 masjid ini dicatat sebagai masjid ke empat yang ada di Bangkok.

Cara Mencapai Masjid Jawa
Dari kawasan Khaosan Road tempat kami menginap, aku memutuskan naik bus ber-AC nomor 11 dengan biaya sebesar 10 Baht menuju Victory Monument. Tiba di Victory Monument, perjalanan ke Masjid Jawa dilanjutkan dengan menggunakan BTS (Bangkok mass Transit System) Skytrain.  Selama berada di Kota Bangkok, BTS adalah transportasi favorit, harga terjangkau, nyaman, tepat waktu dan yang paling penting adalah penumpangnya cakep-cakep. Ahaks.   Transportasi massal ini mirip dengan Rapid KL di Kuala Lumpur atau MRT (Mass Rapid Transit) di Singapore. Sayangnya, Jakarta belum memiliki transportasi massal yang nyaman seperti 3 kota ini.

Naik BTS Sky train (Sukhumvit line jurusan Bearing) dari Victory Monument menuju stasiun Surasak dikenakan biaya seharga 42 Baht. selanjutnya BTS akan melewati 7 stasiun sky train, yaitu; Phaya Thai, Ratchathewi, Siam inter change. Tiba di stasiun Siam inter change, aku harus turun (karena tujuannya adalah stasiun skly line Surasak) lalu ganti naik  BTS Sky train (Silom line) jurusan Bang Wad (tidak perlu bayar lagi). Selanjutnya BTS akan melewati stasiun Ratchadamri, Sala Daeng, Chong Nonsi dan Surasak.

Berhenti di stasiun sky line Surasak, keluarlah melalui Exit 4. Turuni tangga selanjutnya susuri trotoar sampai ketemu sebuah jembatan penyeberangan. Disekitar tangga jembatan penyeberangan berdiri sebuah rambu jalan, Sathon 15 atau Soi Saint Louise 1. Belok ke kanan, ikuti saja jalan yang berdampingan dengan pagar tembok tinggi rumah-rumah penduduk. 250 meter pertama akan melewati jalan yang bisa dilalui 2 mobil. Lalu berbelok lagi ke kanan ke sebuah jalan kecil. Setelah 15 meter, berbelok lah ke kiri ke sebuah gang sempit yang hanya bisa dilalui oleh satu sepeda motor. Panjang gang sempit ini sekitar 70 meter. Di ujung gang, kita akan ketemu pertigaan, ambil ke kanan dan tidak jauh –sekitar 150 meter- akan melihat tulisan “Jawa Mosque” yang melintang diatas jalan Charoen rat 1 Yaek 9. Masjidnya sendiri terletak disisi kanan jalan. Sebelum mencapai masjid, pengunjung akan melewati sebuah pekuburan muslim yang luas disebelah kiri.

Jika masih ragu, tanya saja “Surau” pada orang yang andai temui di jalan Sathon 15, mereka pasti dengan mudah akan mengarahkan anda ke masjid Jawa.

Alhamdulillah, menemukan masjid ini seperti melengkapi kepingan terakhir sebuah puzzle yang sudah disusun sejak pertama kali menginjakkan kaki di Thailand. Senang sekaligus bangga pada para muslim Jawa di masa lalu.



Masjid Ban Oou dan Sepenggal Sejarah Muslim Indonesia di Bangkok

Sebuah story board dengan dasar warna maroon yang dibangun oleh pemerintah Thailand, tegak berdiri di samping tembok bagian barat masjid ban Oou. Siapapun yang melewatinya pasti dapat membaca sepenggal informasi awal berdirinya masjid tua bersejarah ini. 


Pada story board yang ditulis dalam dua bahasa, Thai dan Inggris, disebutkan bahwa;

Pada saat pemerintahan Raja Rama IV, sejumlah muslim dari Yawa atau Jawa bermigrasi ke Bangkok. Namun, barulah pada masa pemerintahan Raja Rama V masjid Ban Oou didirikan, orang-orang lebih suka menyebutnya Surao Khaek (rumah ibadah muslim). Isi pada akta tanah menyebutkan bahwa Raja Rama VI telah memberikan lahan sebagai lokasi pembangunan masjid dan pekuburan di tahun 1912. Tapi dikemudian hari tidak ada satu hukum yang kuat bagi penguasaan property atas nama lembaga. Maka pada 1913, Hadji Abdul Kadeh bin Hadji Mahamad yang mengurus masjid dan pekuburan pada saat itu telah mengalihkan nama kepemilikan berdasarkan akte untuk surao dan pa cha kaek menjadi atas nama Mr. Hadji Abdul Kadeh. Lalu dari tahun 1919, beliau melanjutkan tujuannya dengan mengirim surat kepada departemen-departemen terkait dengan lahan masjid tersebut, yaitu; Departemen Pertanahan, Kementrian Pertanian, Kementrian Metropolitan, beliau berharap bagian pelayanan pemerintah mempertimbangkan petisinya dan kembali mengalihkan kepemilikan lahan atas nama dirinya menjadi kepemilikan atas nama Masjid Ban Oou, Namun sayang, pada masa itu keinginan tersebut belum disetujui. Departemen terkait hanya mengakui dan mencatat keinginan tersebut. Barulah pada 3 Desember 2003, hak kepemilikan seluruh lahan masjid telah dialihkan atas nama Masjid Ban Oou. Hadji Abdul Kadeh tercatat sebagai Imam pertama masjid Ban Oou dan  masjid ini dicatat sebagai masjid pertama di Bangkok pada 29 November 1948.



Mengunjungi masjid Ban Oou bukanlah sesuatu yang direncanakan. Masjid ini tidak termasuk dalam list petualangan kami selama di Thailand.  Selama ini yang aku tahu cuma masjid Jawa. Awalnya ketika turun di stasiun BTS sky line Saphan Thaksin, kami berencana mengelilingi kawasan Silom. Apalagi stasiun Saphan Thaksin dekat sekali dengan salah satu pier (dermaga), yaitu pier Tha Sathon di tepi sungai Chao Phraya. Dimana transportasi sungai dapat menjadi pilihan selanjutnya untuk melihat sisi lain kota Bangkok. Namun rencana tersebut ditangguhkan karena cuaca panas kota Bangkok siang itu membuat kami tak mampu menahan haus dan lapar.

Setelah tanya-tanya dimana letak lokasi halal food dengan seorang perempuan Bangkok yang kami temui di jalan, aku dan Ale bergegas menyusuri jalan Thanon Charoen Krung. Kurang dari 100 meter berjalan kaki, kami berbelok ke kiri masuk lorong Charoen Krung 50 Alley. Disana ada sebuah bangunan bertingkat yang berdampingan dengan bagian belakang Centre Point Hotel. Lantai paling bawah dimanfaatkan sebagai food court sederhana namun mampu menampung ratusan orang untuk memuaskan makan siang mereka.

Dari sekian banyak kios makanan, hanya ada satu yang menjual makanan halal (makanan yang sesuai untuk muslim, artinya daging yang dijual bukan dari hewan yang diharamkan, hewan tersebut telah disembelih sesuai ajaran islam dan bahan makanan yang dijual tidak dicampur dengan sesuatu yang diharamkan oleh islam). Food Thailand Muslim namanya.

Karena sudah waktu untuk sholat zuhur, selesai makan, si pedagang  halal food  memberitahu letak sebuah masjid yang berjarak sekitar 60 meter dari food court. Disanalah masjid Ban Oou berdiri, tempat kami melaksanakan salah satu rukun islam. 

Sebab aku percaya bahwa tidak ada yang kebetulan di dunia ini. Semua sudah diatur oleh Yang Maha Kuasa. Maka “menemukan” rumah ibadah ini adalah salah satu bonus terindah yang Allah berikan selama petualangan di Thailand. Karena sebelumnya aku tidak pernah tahu jika ternyata ada lebih dari satu masjid di kota Bangkok yang memiliki keterkaitan sejarah dengan muslim Indonesia, terutama kontribusi orang-orang dari Jawa pada masa lalu.


Seiring perkembangan zaman, kini di dalam area masjid terdapat juga sebuah multi purpose building serta pekuburan muslim yang luas dan berbatasan langsung dengan dinding food court tempat kami makan siang. Letak masjid yang berada di ujung jalan Charoun Krung 46 di distrik Bang Rak itu, kini tampak dikepung oleh bangunan-bangunan pencakar langit kota Bangkok.

Masjid Ban Oou adalah sebuah cerita dari masa lalu yang membanggakan hingga kini, terutama bagi para muslim Jawa yang berasal dari sekumpulan pulau-pulau besar bernama Indonesia, yang berada jauh di selatan Thailand.

Cara Menuju Masjid Ban Oou

Pilihlah transportasi massal BTS Sky Train, naik Silom line jurusan  Bang Wa. Ditengah perjalanan, turunlah di stasiun sky line Saphan Taksin. Keluar dari stasiun, turun tangga kearah jalan Sathun Nuea Road. Sekitar 30 meter dari jalan tersebut, kita akan ketemu jalan Thanon Charoen Krung Road lalu berbeloklah ke kiri menuju Centre Point Hotel. Sudut ujung pagar lokasi hotel itu berbatasan langsung dengan sebuah jalan kecil bernama Charoen Krung 46. Disepanjang jalan ini dipenuhi oleh pedagang aneka buah segar.  Nah, di ujung jalan Charoen Krung 46 inilah letak Masjid Ban Oou yang sudah berusia 100 tahun lebih. Ia masih berdiri kokoh diantara pemukiman warga dan tetap bertahan diantara heterogenitas masyarakat  serta hiruk pikuk  kota Bangkok.