Selasa, 17 Desember 2013

Di Negeri Syariah ini Islam, Hindu dan Budha Hidup Berdampingan Sejak Dulu


Beberapa waktu belakangan melalui berbagai media, kita seringkali disuguhkan berita-berita kekerasan atas nama agama. Meski dilakukan sekelompok kecil masyarakat –persentasenya sangat kecil malah- tetap saja cap sebagai kelompok yang intoleransi disematkan untuk saudara sesama muslim. Sehingga buat sebagian orang, Islam terasa begitu menakutkan.

Media juga terkadang tidak bersikap adil dalam pemberitaan. Buat mereka, sejauh berita tersebut dapat menaikkan oplah harian mereka ditambah dengan memanfaatkan rasa ingin tahu masyarakat yang berlebihan maka diberitakanlah isu-isu intoleransi tersebut dengan kecenderungan yang berat sebelah. Cover both side terinjak-injak dikaki sebagian para pemburu berita.

Mungkin buat sebagian besar media apalagi media-media sekular,  isu toleransi dianggap terlalu biasa. Tidak punya nilai jual. Sebaliknya, isu-isu intoleransi itu dianggap jauh lebih “sexy”.  Buat saya, menjual isu-isu intoleransi terlalu mainstream. Karena itu, catatan kali ini bercerita tentang penerapan nilai-nilai harmoni dan toleransi yang sudah berjalan ratusan tahun di sepanjang ruas jalan Teungku Di Anjung. Pada sebuah pemukiman  dalam cakupan negeri syariah islam yang bernama Gampong Keudah.

Menurut beberapa sumber, Keudah adalah nama yang disematkan untuk sebuah pemukiman yang bersisian dengan Krueng (sungai) Aceh sejak berabad lalu. Berdasarkan cerita, bahwa dulunya disinilah tawanan-tawanan perang dari Negeri Kedah, Malaysia ditempatkan atas penaklukan yang dilakukan bala tentara Sultan Aceh.

Gampong Keudah dan sepanjang ruas jalan Teungku Di Anjung, termasuk Gampong Peulanggahan dan Gampong Jawa adalah bentuk awal pemukiman kosmopolit yang menjadi bagian dari cikal bakal Kota Banda Aceh. Jadi tak usah heran kalau di kawasan ini mudah sekali ditemukan komunitas India, Arab, Cina dan campuran dari beragam suku di Indonesia terutama Minang, Jawa, Batak dan Bugis terutama sampai 2004 (sebelum tsunami). Semuanya berbaur tanpa ada yang merasa yang satu lebih super dari yang lain. Meski berbeda dalam keyakinan, mereka hidup berdampingan tanpa ada benturan. Disini mereka melihat persamaan bukan mencari-cari perbedaan.


Jika Gampong Peulanggahan bisa disebut sebagai “Kampung Arab” dan Kampung Jawa adalah representasi “Indonesia Mini” di Banda Aceh, maka Gampong Keudah lebih unik, selain didominasi suku Minang dan Jawa, disini juga bermukim orang-orang India dan Cina.

Sebagai bukti eksistensi mereka,  di Keudah Muka –warga lokal sering membagi Gampong Keudah menjadi dua bagian, Keudah Muka dan Keudah Belakang- dapat kita jumpai satu kuil Hindu yang masih tersisa. Dahulu, disepanjang ruas jalan Teungku Di Anjung ada 2 kuil masyarakat India, yaitu milik  suku Tamil dan Punjab. Namun setelah tsunami meluluhlantakkan Kota Banda Aceh, kini yang bertahan setelah dibangun kembali adalah kuil masyarakat India Tamil, kuil Palani Andawer.


Sewaktu masih kecil –tentu saja sewaktu masih sangat imut dan menggemaskan- saya sering melihat seorang pandita dari suku Tamil yang melakukan ritual agama disebuah tempat pemujaan disudut jalan Malem Dagang dan jalan Teungku Muda, Keudah. Kuil Siwen namanya. Sebuah bangunan berstruktur susunan bata yang diplester kasar dan secara keseluruhan bentuknya menyerupai candi, namun akibat tsunami, bangunan tersebut luluh lantak tak bersisa. Sekarang dilahan tersebut telah berdiri Kantor Baitul Mal Kota Banda Aceh.

Bukan saja cara sembahyangnya yang unik tapi juga cara berpakaian dan bahasa tubuh Pandita tersebut yang mengingatkan saya pada sosok Mahatma Gandhi. Sosok Pandita tersebut kecil bertubuh ringkih dan berkulit gelap dibalut kain putih yang dililit selingkar pinggang namun tetap semangat dalam menjalankan Ibadah meski cuma sendiri.

Menurut tutur orangtua, dahulunya upacara pembakaran mayat secara Hindu juga sering dilakukan di Keudah Belakang. Namun kini tak ada lagi.


Selain India, peranan komunitas Cina di Keudah juga tak bisa diabaikan. Disini, orang-orang Cina sebagian besar membuka warung kopi. Dan pelanggannya adalah warga lokal penikmat kopi. Namun suasana tersebut tidak bisa dijumpai lagi karena ketika tsunami, Gampong Keudah adalah salah satu kawasan yang hancur total diterjang gelombang tsunami. Berdampak pada hilangnya sebagian besar penduduknya, termasuk warga keturunan. Namun, kini kita masih bisa menemukan sisa-sisa pengaruh “jiwa bisnis” warga Cina yaitu masih dapat kita lihat pabrik pengolahan kopi yang dimiliki oleh warga keturunan Cina di Keudah Belakang.
  
Berbeda dan menjadi minoritas bukan berarti tak ada ruang buat kaum minoritas berekspresi. Disini, disebuah sudut kawasan di negeri syariah islam, toleransi sudah dipraktekkan tanpa harus digembar-gemborkan. Dan hal itu sudah berjalan puluhan bahkan ratusan tahun. Namun terkadang, kita sering kali meributkan perbedaan tanpa memberi solusi daripada mencari persamaan dalam keragaman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar