Minggu, 02 Maret 2014

Langee


Sudah terlalu banyak cerita tentang keindahan Langee dari kawan-kawan yang pernah mengunjunginya. Tentang bentangan pasir putih dengan garis pantai yang panjang. Tentang “air mancur” alami yang ditunggu saat ombak datang. Sekeping padang rumput dinaungi oleh beragam vegetasi pantai yang indah. Rawa-rawa yang muncul saat air pasang. Bunker jepang yang berkamuflase diantara kontur bukit. Kumpulan batu-batu sedimen raksasa dengan susunan berlapis. Juga ceruk-ceruk di kaki bukit yang membentuk gua-gua sebagai shelter bagi pengunjung.

Berada di kecamatan Lhok Nga, pantai Langee  salah satu dari beberapa surga tersembunyi yang dimiliki kabupaten Aceh Besar. Meski memiliki akses yang terbilang sulit tapi ia cukup popular dikalangan pemancing. Hanya butuh waktu sekitar 1 jam trekking untuk mencapai pantai berpasir putih ini. 

Kalau ditarik garis yang dimulai dari kawasan Ujung Pancu menyusuri pesisir pantai  yang berhadapan dengan Pulau Batee hingga ke  Lampu’uk maka Langee adalah pantai ketiga yang kita jumpai. Kira-kira urutannya seperti ini; Lhok Mata Ie, Lhok Keutapang dan Pantai Langee lalu pantai Momong dan terakhir Eumpe Neulu (Lokasi Joel’s Bungalow) di Lampu’uk.

Jika terus ditarik kebawah, maka kita akan ketemu dengan pantai-pantai yang sudah dikomersilkan seperti Babah Dua, Pulau Kapuk, Lhok Nga dan Taman Tepi Laut.
Kali ini saya tidak mengulas Langee secara detil seperti pada postingan sebelumnya saat saya menulis tentang Lhok Mata Ie dan pantai Momong, karena foto-foto diatas sudah cukup menggambarkan betapa Langee itu indah.

Tapi sayang, keindahan itu tidak dibarengi oleh kesadaran para pengunjung untuk membawa kembali sampah plastik dari botol air mineral atau kemasan makanan yang menjadi bekal mereka selama trekking ke Langee. 

Sangat miris ketika menemukan sampah plastik di jalur trekking di tengah hutan, diatas bukit yang tidak banyak dilalui manusia. Begitu mudah kita melihat tebaran sampah plastik pada jalur menurun selepas bukit pertama yang dilewati. Sebenarnya seberapa berat sih membawa kembali  kemasan plastik yang sudah tidak berisi? 

Saya kembali teringat setahun lalu ketika pertama kali ke Lhok Mata Ie. Hal pertama yang rombongan kami lakukan sebelum mendirikan tenda adalah mengumpulkan sampah dipinggir pantai yang sering dijadikan lokasi bermalam. Selanjutnya, pilihan terbaik dari yang terburuk karena tidak ada pilihan lain adalah membakarnya. Daripada sampah-sampah tersebut kembali bertebaran dibawa angin atau gelombang pasang.

Padahal diluar sana ada begitu banyak kawasan wisata yang tidak seindah pantai-pantai di Aceh tapi karena lokasi tersebut sangat menjaga kebersihan, siapapun yang pernah mengunjunginya suatu saat pasti akan muncul rasa kangen untuk kembali lagi. 



Saya yakin, pengunjung terbanyak yang melakukan trekking ke lokasi ini adalah anak-anak muda, utamanya dari Banda Aceh.  Anak-anak muda ini seharusnya memiliki kesadaran lebih terhadap kebersihan lingkungan. Yang pada buang sampah disini sadar gak ya? Kalau kita mati, tidak butuh waktu lama jasad seseorang menyatu dengan tanah. Sementara, sampah plastik yang anda buang selama hidup didunia butuh waktu ratusan tahun untuk terurai. 

Baiklah, saya tidak mengatakan semua orang yang kesini membuang kemasan plastik sembarangan. Saya percaya, masih banyak orang baik yang peduli terhadap kebersihan dimanapun mereka berada. Namun dari apa yang saya jumpai pada saat turunan bukit setelah tempat istirahat pertama, sudah menunjukkan tipikal orang-orang seperti apa yang dominan mengunjungi Langee. Ini masalah perilaku yang bisa dirubah kok. Yang penting punya kesadaran "malu meninggalkan jejak sampah disembarang tempat".


Tidak ingin menjadi bagian dari sikap masabodoh orang-orang berpendidikan yang membuang sampah di jalur trekking menuju Langee, hari itu sampah yang saya hasilkan dibawa kembali ke Banda Aceh.  Bukan berarti dengan melakukan hal ini derajat saya di hadapan Tuhan langsung setara malaikat. Tapi ini adalah hal sepele yang bisa dilakukan semua orang normal. Hal kecil yang harus dibiasakan. Meski pada akhirnya pilihan itu anda yang putuskan. Mau atau tidak “membawa pulang sampah yang anda hasilkan”

Lagipula tidak fair kan? Belanja makanan di Banda Aceh trus sampahnya dibuang di Aceh Besar. Eh, sembarang pula buangnya. *Mental.

Sabtu, 01 Maret 2014

Tsunami Ecape Building

Dalam Turnamen Foto Perjalanan dengan tema Pencakar Langit, tertera satu alinea yg berbunyi:"Tak melulu bangunan modern nan tinggi menjulang, foto pencakar langit disini bisa juga pemandangan gedung-gedung apa saja yang ada saat berwisata atau disekitar anda, jadi gedung tradisional, ataupun modern tetap bisa" yang akhirnya membuat saya memberanikan diri  mengirimkan foto dibawah ini untuk disertakan dalam turnamen yang sudah memasuki ronde 37, dimana kali ini Dede Ruslan menjadi host.


Ini bukanlah skyscraper seperti yang dibayangkan banyak orang. Namun di Gampong (Desa) Deah Glumpang, inilah satu-satunya gedung tertinggi di kawasan tersebut meski ia hanya memiliki tinggi 18 meter saja atau setara bangunan 5 lantai. Fungsinya sebagai gedung evakuasi jika suatu saat terjadi gempa dan tsunami, membuatnya boleh diakses kapan saja dan oleh siapa saja. Gedung yang mampu menampung 1000 orang ini, lantai dasarnya sering digunakan sebagai sarana berolahraga bagi warga sekitar. Sedangkan bagian atas gedung (helipad) kerapkali dijadikan lokasi memotret matahari dari dua situasi berbeda, pagi dan senja atau sekedar menatap kawasan pesisir pantai Ulee Lheue dimana Pulau Weh berada dilepas pantainya dan menikmati pemandangan kota Banda Aceh dari atas.

Untuk lebih detil, dapat dibaca pada link dibawah ini ;