Selasa, 25 Februari 2014

Jendela, Mata Pada Sebuah Bangunan


Morning sunshine in our room
Now that room is back in tune
Autumn start this day with a smile
And laugh at my beautiful love one
Who’s lying besides me
...............................

Pernah dengar salah satu lagu milik Daniel Sahuleka, You Make My World So Colorful? Lirik diatas adalah sepenggal dari lagu tersebut. Lalu apa hubungan jendela dengan lagu tersebut? Nah, ternyata lagu yang populer di Indonesia ini terinspirasi dari kebiasan menyingkap tirai jendela hunian mereka. Seperti yang saya kutip dari artikel musik harian Kompas Minggu 23 Februari 2014 lalu, kala komposer sekaligus penyanyi berdarah Ambon itu menuturkan riwayat lagu tersebut :
“Waktu itu kami baru saja menikah. Waktu bangun tidur, saya buka tirai jendela. Lalu sinar matahari masuk ke kamar kami. Sinarnya indah sekali mengenai wajah istri saya yang masih tidur.”
Tak lama, terciptalah You Make My World So Colorful. Ohhh, so romantic *gigit ujung bantal.

Bagi penyanyi berkewarganegaraan Belanda keturunan Indonesia ini, membuka tirai jendela ternyata mampu memberinya inspirasi menulis lirik dan menuangkan menjadi sebuah lagu. Menjadikannya tetap eksis di jagad hiburan. Akhirnya, duitpun mengalir :) Sementara kita setiap pagi juga melakukan hal yang sama, mungkin bedanya kita menganggap kebiasaan membuka jendela adalah rutinitas pagi yang gak ada istimewa sama sekali.
Hmmmm…. it’s depend on your point of view to value it.

Benar kan? Ritual yang paling sering dilakukan sesaat setelah bangun tidur di pagi hari adalah membuka jendela kamar tidur selebar-lebarnya. Dan bersama angin, biarkan juga cahaya masuk menelusup ke sudut-sudut perabot yang ada didalam ruang private itu. Setelah itu…..tidur lagi. Hehehehee, gak ding.


Bicara soal jendela -dalam bahasa Aceh dan Melayu disebut tingkap- yang paling menarik bagi saya setiap mengunjungi satu kota atau sebuah bangunan bersejarah adalah menikmati pesona jendela yang menghiasi dinding bangunan. Bukan sekedar bukaan, jendela-jendela ini biasanya juga tampil sebagai salah satu elemen estetis. Biasanya bangunan-bangunan tua memiliki jendela dengan kusen yang kokoh. Daun jendela yang unik. Ukuran tinggi yang tidak lazim. Namun keindahannya tak lekang ditelan zaman. Timeless.


Sejak dulu ada banyak tipe jendela yang dikenal. Tiap-tiap tipe memiliki kekhasannya tersendiri. Umumnya pemilihan tipe disesuaikan pada wilayah dimana bangunan itu didirikan. Di Indonesia ada 2 tipe jendela yang paling populer; jendela jelusi (Jalousie window) dan Jendela ayun (Casement window).

Jika kita jeli, tidak sedikit juga bentuk indah dari jendela-jendela bangunan lama yang ada di Banda Aceh bisa ditemui. Mulai dari jendela pada rumah panggung tradisional, pada toko-toko tua di Peunayong, rumah ibadah hingga jendela yang menghiasi bangunan peninggalan era kolonial Belanda yang masih tersisa.

Satu yang paling menyita perhatian saya adalah jendela-jendela yang menghiasi gedung Bank Indonesia di jalan Cut Mutia, Banda Aceh. Simpel, kokoh namun artistik. Gedung dengan langgam Classic-tropic ini adalah karya arsitek Vermont Cuypers dan Hulswit. Gedung ini selesai dibangun pada masa pemerintahan Hindia Belanda tahun 1918. Hingga kini masih dirawat dengan sangat baik.
Siapapun yang melintas di jalan Cut Mutia, Banda Aceh pasti dapat melihat kekokohan gedung yang telah berusia 96 tahun.

Keseluruhan gedung didominasi model jendela ayun (Casement window) yang bertumpu pada tembok bangunan setebal 40 cm. Ukurannya pun dianggap tidak biasa untuk model jendela sekarang ini. Sementara bagian atap gedung bank Indonesia dihiasi oleh Dormer window yaitu jendela vertical yang berada di atap rumah. Posisinya menjorok keluar dari atap miring bangunan. Bagian atas dormer window biasanya juga dihiasi atap yang selaras dengan atap utama bangunan

Di gedung ini, jendela hadir bukan sebagai pelengkap. Ia ikut mempengaruhi penampilan bangunan. 



Dari luar bangunan, orang melihat sebuah jendela tampil sebagai elemen estetis sebuah bangunan. Sedangkan dari dalam bangunan, jendela terbuka ibarat bingkai sebuah “lukisan hidup” yang mampu memberikan visual kepada orang yang berada di dalam bangunan menatap keluar jendela.

Jika diibaratkan panca indera maka jendela adalah mata bagi bangunan. Ia  tak hanya berfungsi sebagai sumber cahaya, sirkulasi udara yang baik dan juga hadir sebagai elemen estetis. Tapi Ia juga mampu memberi vista kepada pemilik bangunan. Jadi jangan heran jika ada seseorang yang betah berlama-lama menatap pemandangan ke luar jendela. Dan menemukan inspirasi disana.

Nah, kalau Daniel Sahuleka bilang “You Make My World So Colorful” untuk jendela kamarnya, kita seharusnya juga bisa bilang “It makes our house so beautiful” 

Berikut ini 3 foto yang bisa mewakili keindahan dan kesederhanaan sebuah jendela pada bangunan lama.



Senin, 17 Februari 2014

Romantisme Eropa di Alun-Alun Kota Melaka


Taman yang baik biasanya memiliki fungsi sosial budaya yaitu mampu memberikan ruang interaksi sosial, sarana rekreasi bagi warganya sekaligus menjadi landmark kota. Tak bisa dipungkiri, kehadiran taman di alun-alun kota  Melaka, Malaysia ini mampu merepresentasikan ketiga hal tersebut. Dikelilingi oleh bangunan-bangunan tua bercat merah era kolonial Belanda yang dirawat dengan sangat sempurna oleh pihak kerajaan, seperti Gedung Stadhuys yang pernah digunakan sebagai kediaman para gubernur Belanda dan gereja Christ Church yang dibangun tahun 1753, taman ini menjadi salah satu magnet bagi siapa saja yang melancong ke Melaka. Bukan hanya itu,  pohon-pohon tua pun ikut dipertahankan. Bukan sekedar pelengkap tapi pohon-pohon itu menjadi bagian dari taman yang merupakan bagian dari Stadhuys Red Square. Dipengaruhi  gaya Eropa yang kental, taman ini juga dilengkapi tugu air mancur (Queen Victoria's fountain) yang indah dan penataan vegetasi yang asri. Berada disini seperti merasakan atmosphere romantisme ala Eropa.  

Kamis, 13 Februari 2014

Pulau Bunta, Catatan Dari Keinginan Yang Terpendam Lama #2


"Perjalanan dengan tujuan kenikmatan duniawi, hanya menyenangkan sesaat tapi akan menghancurkan mu selamanya. Jika sebuah perjalanan dilandasi oleh kekaguman terhadap Sang Pencipta, maka kau akan menemukan Tuhan mu selamanya." Arie Y.


Sebelum berbagi cerita kegiatan di hari kedua, ada baiknya mengingat-ingat kembali kejadian di hari pertama, mengarungi lepas pantai Ujung Pancu dan menjauhi sisi kanan Pulau Tuan selanjutnya melewati selat pendek antara Pulau Lumpat dan Ujung Pancu hingga melintas Pulo Batee sampai akhirnya tiba di Pulau Bunta. Ombak benar-benar tak dapat diprediksi.  Seperti yang kami alami. Baru beberapa menit meninggalkan dermaga dan lepas dari ujung kanal, ombak dihadapan sudah berkejar-kejaran menghadang laju boat mesin 23 PK.  Semakin ketengah semakin tinggi. Dalam keadaan sedikit panik, beberapa peserta yang sejak awal belum menggunakan baju pelampung, langsung meraih dan memakainya.

Keadaan bertambah tegang ketika tiba-tiba pendamping juru mudi berkata “Kelihatannya boat berat kedepan, ayo sebagian penumpang pindah ketengah.” Huuaaaaaaa…pengen nangis! Soalnya posisi akulah yang harus pindah ke tengah. Bayangkan, dalam keadaan kapal oleng ke kiri dan kanan disuruh berdiri untuk pindah posisi, pastilah seperti pemain akrobat yang harus menjaga keseimbangan jika tak ingin tercebur ke laut. Pada saat itu juga aku harus memikirkan bagaimana menjaga tas berisi kamera dan laptop yang kuselempangkan tidak basah akibat hempasan air laut.

Alhamdulillah walau dengan susah payah, kini posisi ku benar-benar berada di tengah bersama pendamping juru mudi. Didepan kami duduk; Pak Sidik, Bahrijal dan Ale. Sementara di posisi belakang ada Ismul, Mirza dan Yusri ditambah juru mudi boat mesin.

Jujur, ini adalah masa-masa penuh kecemasan dalam perjalanan menuju Pulau Bunta. Saat itu, semua peserta tampak diam. Hening. Hanya suara ombak yang bergemuruh ditambah raungan mesin boat yang memekakkan telinga. Dan aku percaya bahwa mereka semuanya sedang berdoa. Masuk diakal ya, ketika sedang berada dibawah ancaman, manusia pasti (kembali) mengingat Sang Pencipta. Amat menegangkan. Heheheee. 

Kira-kira 20 menit menjelang tiba, aku menoleh ke belakang. Apaaaaaa?????? Astagfirullah! Tiga orang peserta yang berada dibelakang sedang tidur pulas dengan manisnya. Ohhhhhhh…… penumpang yang aneh.


Sabtu, 25 Januari 2014
Menjelajah Sisi Barat Pulau

Sabtu pagi selepas sarapan, waktunya berkumpul dan selanjutnya rombongan dibagi kedalam 2 grup. Adalah sebuah pilihan yang sulit menentukan jalur mana yang akan ditempuh, menyusuri sisi barat atau timur pulau. Karena keduanya sama menarik.

Grup 1 akan menyusuri sisi timur dan selatan melewati Ujung Bada dengan jarak tempuh kurang dari 4 km, sedangkan grup 2 mengarah ke sisi barat pulau melewati pelabuhan dengan jarak tempuh yang lebih pendek yaitu sekitar 2,5 km.  Kedua grup sepakat untuk bertemu di lokasi mercusuar yang terletak di Ujung Mane.

Akhirnya, menilai dari sudut pandang fotografi, aku memutuskan menjadi bagian dari grup 2 yang terdiri dari Bahrijal, Ale, Satria, Ismul, Mirza dan Mudi. Dengan menyusuri sisi barat, otomatis sinar matahari pagi akan berada dibelakangku dan menjadi sumber cahaya kearah laut. Tentu saja hal tersebut baik untuk mendukung pencahayaan dari sisi fotografi.

Sebelum kedua grup berpisah mengikuti jalur masing-masing, Pak Sidik berulangkali mengingatkan untuk mencatat dan mendokumentasikan apa saja yang dilihat selama dalam perjalanan. 

Nah, selama trekking ternyata banyak hal-hal indah yang kami temui. Foto-foto dibawah ini semoga mampu menjelaskan sebagian keindahan dari Pulau Bunta terutama buat yang belum pernah kemari.






Selama perjalanan di sisi barat, grup kami diberi kesempatan melihat pecahan-pecahan karang merah yang terdampar di pesisir pantai akibat hempasan gelombang pasang. Kawan-kawan di grup 1 ternyata lebih beruntung, menurut penuturan mereka,  sisi timur Pulau Bunta memiliki pemandangan yang luar biasa indah. Mereka menyaksikan sekumpulan karang merah terhampar sekian puluh meter tak jauh dari garis pantai. Pagi hari saat air surut adalah waktu yang tepat untuk bisa melihat hamparan karang merah tersebut. 



Menjelang akhir perjalanan disaat jalur semakin menanjak, kami bertemu 2 orang penjaga mercusuar yang baru saja selesai mancing, Pak Basuki dan Bang David. Mereka jugalah yang menuntun kami ke lokasi mercusuar. Sebenarnya masih ada  satu orang lagi yang mereka panggil Pak Komandan. Pak Basuki dan Bang David adalah warga propinsi Sumatera Utara, mereka baru saja ditugaskan di Pulau Bunta untuk beberapa bulan sebelum dipindahkan ke lokasi lain nantinya.

Banyak sekali cerita yang mereka ungkapkan selama dalam perjalanan maupun saat tiba di pos penjagaan mercusuar.  Tentang rasa rindu yang harus dipendam selama berminggu-minggu terhadap keluarga, mengenai distribusi makanan yang kadang terkendala akibat cuaca ekstrim atau sulitnya komunikasi melalui telfon genggam dengan dunia luar. Nah, Kalau sudah begini, aku cuma bisa bilang “Yang sabar ya pak.” :)

Waktu sudah lewat tengah hari ketika kami tiba di titik finish yang disepakati.  Beberapa teman sudah duduk kelelahan di lantai ruang tamu rumah Bang David. Rasa haus tak terbendung lagi. Begitu masuk ke ruang makan, semua orang –kecuali Bang David, si penghuni rumah- tampak seperti kesurupan begitu melihat dispenser. Berlomba-lomba menghabiskan bergelas-gelas air dingin. Oh Tuhan, kami seperti menemukan oase ditengah padang pasir tandus, halahhhh mulai deh lebay! 

Tak lama Mudi dan Satria terkapar pasrah di lantai. Di rumah ini, naluri chef Bahrijal ikut bermain, juru masak kami selama Coastal Retreat ini sibuk mondar-mandir di dapur dan yang terjadi setelah itu adalah  15 bungkus mie instant stock dapur bang David direlakan untuk dimasak sebagai menu makan siang kami. Ale, Mudi dan Mirza menuju lokasi tebing menunggu teman-teman grup 2 tiba. Sedangkan aku sibuk mencari posisi untuk mendapatkan sinyal hp. Bikin status dulu. :)

Menjelang setengah tiga siang, grup 1 (Pak Sidik, Pak Iben, Musa, Yusri,  Faisal, Alfandias, Suheil dan Adit) akhirnya dengan penuh perjuangan tiba di lokasi mercusuar. Wajar kalau mereka paling akhir tiba. Selain jalur trekking yang lebih panjang mereka juga harus melakukan pendakian untuk mencapai area mercusuar. Wajah-wajah mereka tak dapat menutupi rasa lelah itu.


Perjalanan ini memang begitu melelahkan tapi semuanya terbayar lunas oleh merah dan kuning karang-karang yang ada di Pulau Bunta. Biru dan hijau tosca permukaan lautnya, hijau tua daun-daun kelapa tinggi langsing yang tumbuh menjulang menggapai langit. Warna-warna gelap batuan sedimen yang tersebar disekeliling pulau. Cahaya yang menelusup masuk diantara rimbunnya daun pohon ketapang, tempat dimana kami mendirikan tenda dan melakukan banyak aktifitas dibawahnya. Alam bawah lautnya yang luar biasa indah.  Dan ini mengajarkan kepada kami bagaimana tetap menjaga keberlangsungan hidup apapun yang ada di pulau ini.

Dan selalu ada catatan penting dari setiap perjalanan. Tentang bagaimana setiap orang mampu mengesampingkan ego. Memahami kesulitan . Menawarkan kebaikan. Melatih empati terhadap teman bahkan yang baru dikenal yang sebelumnya tak pernah berinteraksi sama sekali. Seperti yang kurasakan dalam perjalanan kali ini.

Sebelum kembali ke tenda, rombongan menyempatkan diri berfoto bersama di depan rumah petugas mercusuar.

Terima kasih untuk kalian semua. (y)