Senin, 30 Desember 2013

Membaca Tanda-Tanda


Masih ingatkah kita tentang sekumpulan burung putih diatas langit Krueng Raya yang terbang berarak menuju ke daratan? Dan tak lama setelah itu, tsunami menghancurkan apa saja yang dilewatinya. Yaa…alam memberi banyak tanda-tanda jika kita bijak “membaca”nya.


Setelah tsunami,  Banda Aceh (mungkin) adalah satu-satunya tempat di Indonesia yang memiliki rambu-rambu peringatan terhadap bahaya tsunami di beberapa bagian kotanya. Jujur, tidak ada yang berharap tsunami akan kembali namun rambu-rambu itu tetap harus dipahami oleh masyarakat pesisir agar mampu mengantisipasi jika tanda-tanda tsunami muncul kembali.

Sehingga tidak ada lagi kejadian, ketika air surut, orang beramai-ramai mendekati untuk melihat isi laut. Yang seharusnya dilakukan adalah mencari daerah atau dataran lebih tinggi. Hal ini bisa terjadi akibat minimnya pengetahuan kita terhadap gelombang tsunami, tanda-tanda yang mengikutinya serta antisipasi terhadap hal tersebut.

Rambu-rambu tersebut hadir beberapa tahun setelah tsunami pada 26 Desember 2004, meluluhlantakkan pesisir barat dan sebagian pantai timur Aceh. Bahkan terjangan ombaknya mencapai pantai-pantai di Malaysia, Thailand, India, Srilanka dan sebagian kecil Afrika.

Sangat mudah menemukan rambu-rambu ini, terutama di kawasan Lampaseh hingga ke Ulee Lheue. Dari Lam Jamee hingga Lhok Nga di Aceh Besar. Juga seputaran Lampulo, Kuala hingga arah menuju Krueng Raya.


Setelah tsunami juga, kehadiran rambu-rambu ini menjadi begitu penting. Tapi apakah itu saja cukup? Tentu tidak. Tanpa mengecilkan kehadiran rambu-rambu ini sebagai sebuah usaha mulia dari pemerintah kota serta dukungan lembaga lainnya, tanda-tanda yang dibuat oleh manusia ini juga seharusnya mengajarkan kita untuk bersikap lebih bijak dalam memperlakukan alam. Karena alam memberikan tanda-tanda yang jauh lebih baik daripada rambu-rambu itu sendiri.

Mangrove sebagai buffer alam
Pertengahan era 80-an, jika kita menuju Kuala yang terlihat dikiri-kanan jalan hanyalah mangrove dengan akarnya yang unik.  Jalan aspal adalah satu-satunya bagian hitam yang membelah dominasi hijau tua hutan mangrove. Membentang sekian kilometer  tempat beragam habitat hidup. Bandingkan sekarang, mulai dari Kampung Lamdingin sampai Kuala kita sudah disambut oleh jajaran toko dan deretan rumah penduduk.

Kini orang-orang mulai memahami pentingnya arti menanam kembali mangrove. Kenapa menanam kembali? Karena kawasan yang sekarang ditanami, dulunya adalah hutan mangrove itu sendiri. Akibat perlakuan “barbar” kita terhadap alam, mangrove ditebang untuk dijadikan lahan tambak ikan atau udang. Ketika hasil tambak tidak lagi mendukung secara ekonomi, lahan ditimbun dijadikan kapling-kapling untuk membangun hutan beton dimana manusia bersemayam didalamnya.


Padahal, hutan bakau adalah buffer terbaik alam. Ia mampu melindungi daratan dari terjangan gelombang laut. Bahkan ombak setinggi 4 meter dapat diredam menjadi setinggi satu meter. Pohon bakau dari jenis terbaik dapat mencapai ketinggian 30 meter, itu artinya jika ada gelombang tinggi yang datang tentu tidak akan merangsek sampai ke tengah kota.

Dengan akar yang unik seperti garpu yang menancap ke tanah inilah, lumpur dan pasir menjadi tetap terikat di pesisir pantai dan muara. Bukan itu saja, akar mangrove memberi rongga –rongga bagi ikan, kepiting, udang serta hewan lainnya memperoleh tempat yang aman untuk menitipkan telur dan membesarkan anaknya.

Smong dan kearifan lokal masyarakat Simeulue
Smong adalah gelombang pasang besar seperti halnya tsunami yang terjadi pada 1907 di Pulau Simeulue. Tidak ingin mengalami jumlah korban yang sama dimasa mendatang, masyarakat Simeulue yang selamat dari bencana dahsyat tersebut menceritakannya secara turun temurun tentang smong dan gejala-gejala alam yang mendahuluinya kepada cucu atau anak-anak mereka. Penuturan lisan tersebut disebut nafi-nafi. Melalui nafi-nafi, kisah sedih di hari jum’at 14 Januari 1907 tetap lestari. Sehingga generasi yang tidak mengalami smong dimasa tersebut tetap memiliki pengetahuan yang cukup mengenai smong dan gejala-gejala alam yang berpotensi mendatangkan smong, sang gelombang besar itu.

Terbukti, ketika tsunami Aceh merenggut ratusan ribu nyawa, dengan kearifan lokal melalui nafi-nafi yang diceritakan secara turun temurun, tidak banyak korban yang berjatuhan di Pulau Simeulue. Padahal pulau ini langsung menghadap titik gempa di Lautan Hindia.


Manusia memang tak ada yang mampu meramal kapan bencana akan muncul. Tak mampu juga  mengelak ketika bencana datang. Namun kita akan mampu meminimalisir jatuhnya korban jika kita memperlakukan alam lebih bijaksana. Mampu membaca tanda-tanda jika setia memelihara kearifan lokal seperti yang dilakukan masyarakat Pulau Simeulue melalui nafi-nafi.

Bencana menunjukkan betapa kecilnya manusia ditengah alam semesta ini.

Selasa, 17 Desember 2013

Di Negeri Syariah ini Islam, Hindu dan Budha Hidup Berdampingan Sejak Dulu


Beberapa waktu belakangan melalui berbagai media, kita seringkali disuguhkan berita-berita kekerasan atas nama agama. Meski dilakukan sekelompok kecil masyarakat –persentasenya sangat kecil malah- tetap saja cap sebagai kelompok yang intoleransi disematkan untuk saudara sesama muslim. Sehingga buat sebagian orang, Islam terasa begitu menakutkan.

Media juga terkadang tidak bersikap adil dalam pemberitaan. Buat mereka, sejauh berita tersebut dapat menaikkan oplah harian mereka ditambah dengan memanfaatkan rasa ingin tahu masyarakat yang berlebihan maka diberitakanlah isu-isu intoleransi tersebut dengan kecenderungan yang berat sebelah. Cover both side terinjak-injak dikaki sebagian para pemburu berita.

Mungkin buat sebagian besar media apalagi media-media sekular,  isu toleransi dianggap terlalu biasa. Tidak punya nilai jual. Sebaliknya, isu-isu intoleransi itu dianggap jauh lebih “sexy”.  Buat saya, menjual isu-isu intoleransi terlalu mainstream. Karena itu, catatan kali ini bercerita tentang penerapan nilai-nilai harmoni dan toleransi yang sudah berjalan ratusan tahun di sepanjang ruas jalan Teungku Di Anjung. Pada sebuah pemukiman  dalam cakupan negeri syariah islam yang bernama Gampong Keudah.

Menurut beberapa sumber, Keudah adalah nama yang disematkan untuk sebuah pemukiman yang bersisian dengan Krueng (sungai) Aceh sejak berabad lalu. Berdasarkan cerita, bahwa dulunya disinilah tawanan-tawanan perang dari Negeri Kedah, Malaysia ditempatkan atas penaklukan yang dilakukan bala tentara Sultan Aceh.

Gampong Keudah dan sepanjang ruas jalan Teungku Di Anjung, termasuk Gampong Peulanggahan dan Gampong Jawa adalah bentuk awal pemukiman kosmopolit yang menjadi bagian dari cikal bakal Kota Banda Aceh. Jadi tak usah heran kalau di kawasan ini mudah sekali ditemukan komunitas India, Arab, Cina dan campuran dari beragam suku di Indonesia terutama Minang, Jawa, Batak dan Bugis terutama sampai 2004 (sebelum tsunami). Semuanya berbaur tanpa ada yang merasa yang satu lebih super dari yang lain. Meski berbeda dalam keyakinan, mereka hidup berdampingan tanpa ada benturan. Disini mereka melihat persamaan bukan mencari-cari perbedaan.


Jika Gampong Peulanggahan bisa disebut sebagai “Kampung Arab” dan Kampung Jawa adalah representasi “Indonesia Mini” di Banda Aceh, maka Gampong Keudah lebih unik, selain didominasi suku Minang dan Jawa, disini juga bermukim orang-orang India dan Cina.

Sebagai bukti eksistensi mereka,  di Keudah Muka –warga lokal sering membagi Gampong Keudah menjadi dua bagian, Keudah Muka dan Keudah Belakang- dapat kita jumpai satu kuil Hindu yang masih tersisa. Dahulu, disepanjang ruas jalan Teungku Di Anjung ada 2 kuil masyarakat India, yaitu milik  suku Tamil dan Punjab. Namun setelah tsunami meluluhlantakkan Kota Banda Aceh, kini yang bertahan setelah dibangun kembali adalah kuil masyarakat India Tamil, kuil Palani Andawer.


Sewaktu masih kecil –tentu saja sewaktu masih sangat imut dan menggemaskan- saya sering melihat seorang pandita dari suku Tamil yang melakukan ritual agama disebuah tempat pemujaan disudut jalan Malem Dagang dan jalan Teungku Muda, Keudah. Kuil Siwen namanya. Sebuah bangunan berstruktur susunan bata yang diplester kasar dan secara keseluruhan bentuknya menyerupai candi, namun akibat tsunami, bangunan tersebut luluh lantak tak bersisa. Sekarang dilahan tersebut telah berdiri Kantor Baitul Mal Kota Banda Aceh.

Bukan saja cara sembahyangnya yang unik tapi juga cara berpakaian dan bahasa tubuh Pandita tersebut yang mengingatkan saya pada sosok Mahatma Gandhi. Sosok Pandita tersebut kecil bertubuh ringkih dan berkulit gelap dibalut kain putih yang dililit selingkar pinggang namun tetap semangat dalam menjalankan Ibadah meski cuma sendiri.

Menurut tutur orangtua, dahulunya upacara pembakaran mayat secara Hindu juga sering dilakukan di Keudah Belakang. Namun kini tak ada lagi.


Selain India, peranan komunitas Cina di Keudah juga tak bisa diabaikan. Disini, orang-orang Cina sebagian besar membuka warung kopi. Dan pelanggannya adalah warga lokal penikmat kopi. Namun suasana tersebut tidak bisa dijumpai lagi karena ketika tsunami, Gampong Keudah adalah salah satu kawasan yang hancur total diterjang gelombang tsunami. Berdampak pada hilangnya sebagian besar penduduknya, termasuk warga keturunan. Namun, kini kita masih bisa menemukan sisa-sisa pengaruh “jiwa bisnis” warga Cina yaitu masih dapat kita lihat pabrik pengolahan kopi yang dimiliki oleh warga keturunan Cina di Keudah Belakang.
  
Berbeda dan menjadi minoritas bukan berarti tak ada ruang buat kaum minoritas berekspresi. Disini, disebuah sudut kawasan di negeri syariah islam, toleransi sudah dipraktekkan tanpa harus digembar-gemborkan. Dan hal itu sudah berjalan puluhan bahkan ratusan tahun. Namun terkadang, kita sering kali meributkan perbedaan tanpa memberi solusi daripada mencari persamaan dalam keragaman.

Senin, 02 Desember 2013

5 Jejak Aceh di Pulau Pinang (Bagian 2)

#4. Teuku Nyak Puteh dan Seniman Besar Malaysia, P. Ramlee
Tidak hanya pada masa Tengku Syed Hussain Al-Idid saja kejayaan masyarakat Aceh berlangsung di Pulau Pinang. Selepas meninggal beliau, kawasan Aceh ini terus berkembang. Generasi Aceh selanjutnya yang sukses di Penang pada awal abad 20, salah satunya adalah Teuku Nyak Puteh. Lelaki asal Lhokseumawe, Aceh ini mengawani wanita lokal,  Che Mah Hussein pada tahun 1925.   4 tahun kemudian, tepatnya 22 Maret 1929 lahirlah Teuku Zakaria bin Teuku Nyak Puteh atau yang lebih populer dengan nama P. Ramlee (Puteh Ramlee).  Siapa sangka, lelaki keturunan Aceh ini menjadi tokoh seni berpengaruh –Aktor, penyanyi, composer sekaligus sutradara film- di Malaysia antara 1948 hingga wafatnya di tahun 1973.

Pustaka Peringatan P. Ramlee terletak di Jalan Dedap, Taman P. Ramlee-Kuala Lumpur.
Di salah satu ruangannya, pengunjung dapat menikmati film-film karya seniman agung ini.

Hingga kini, rumah kayu yang dibangun tahun 1926 oleh orang tua beliau masih dijaga dengan baik. Rumah panggung kayu beratap daun nipah terletak di jalan P. Ramlee. Nama jalan tersebut ditabalkan oleh Pemerintah Malaysia untuk mengenang jasa beliau dalam bidang seni.

#5. Pantai Acheh

Ada satu nama yang sering disebut-sebut saat berada dalam kawasan Taman Negara Pulau Pinang (Penang National Park) yaitu Hutan Lindung Pantai Acheh (Pantai Acheh Forest Reserve). Tidak ada yang tau pasti kenapa disebut Pantai Acheh. Tapi sebuah story board “Jalan Penarikan” yang bisa dijumpai saat melakukan trekking kearah Pantai Kerachut menyebutkan bahwa, kayu-kayu dilokasi ini dulunya sering diambil untuk kebutuhan pembuatan rumah dan kapal nelayan. Permintaannya semakin meningkat ketika terjadi migrasi orang-orang Aceh ke Penang sekitar 1940-an.

Berikut, tulisan versi bahasa melayu pada story board “Jalan Penarikan”;
Disekitar tahun 1940-an, masyarakat pada masa itu menggunakan kayu dari kawasan ini untuk membina rumah dan bot. Keperluan pokok balak pada waktu itu semakin tinggi apabila berlaku menghijrahkan penduduk Acheh dari Indonesia ke Pulau Pinang.

Lurah yang anda lihat disepanjang denai ini bukan terhasil daripada aliran air semula jadi. Tetapi ia adalah lorong yang terbentuk akibat kerja-kerja membawa keluar kayu balak ke kawasan lapang menggunakan kerbau.

Dapatkah anda bayangkan berapa ramai tenaga manusia diperlukan untuk menarik keluar sebatang pokok yang besar sekiranya kerbau tidak digunakan?

Dan versi bahasa Inggris;
“Pulling Route”
In the 1940’s, the community used wood from this area to build houses as well as to construct boats. The essential need of timber trees has increased has batches of Acheh community migrated from Indonesia to Pulau Pinang.

The gully or ditch that you are witnessing next to this trail was not created out of natural running water. As a matter of fact, it was formed as a buffaloes were used at that time to drag timbers to an open area.


Can you image how many people are needed to pull one giant timber without any help from the buffaloes?

Story board jalan penarikan
























Ada 3 jalur Rapid Penang yang memudahkan pengunjung menuju Taman Negara Pulau Pinang. Pertama, jika berangkat dari Bayan Lepas Airport, naik Rapid Penang nomor 401E lalu turun di stasiun bus Balik Pulau. Selanjutnya naik nomor 501 dan turun di stasiun bus terakhir yang berdekatan dengan Taman Negara yaitu stasiun Tanjung Bungah. 

Jalur kedua, jika berada di Weld Quay silakan naik Rapid Penang nomor 101. Pilihan ketiga, pengunjung yang berada di KOMTAR dapat menaiki bus nomor 10 langsung ke stasiun Tanjung Bungah. Terakhir, berjalan kaki kurang dari 300 meter ke pintu masuk Taman Negara untuk trekking sekaligus memahami sepenggal sejarah terkait orang-orang Aceh di Pulau Pinang. (y)

Minggu, 01 Desember 2013

Warna Warni, Warna Lokal #2

#4. Teh Mandi 
Selain kopi, di Indonesia teh sangatlah populer. Teh bisa ditemui hingga pelosok sekalipun. Minuman dari olahan daun teh hadir mulai dari warung kakilima hingga restoran mahal.  Meski populer, penyebutan untuk satu olahan minuman teh juga bisa beragam. Misalnya, minuman teh ditambah gula serta es batu, di satu daerah disebut “teh manis dingin”. Di daerah lain dipanggil “es teh manis”.

Kalau lagi berada di sebuah warung minuman, jangan kaget jika ada pengunjung yang minta “mandi”. “Bang, mandi satu!” Itu bukan berarti pengunjung pengen mandi dengan si abang pemilik warung tapi itu artinya, pengunjung warung memesan satu gelas teh manis dingin. Beberapa orang sering menyingkat “manis dingin” menjadi “mandi” saja.





#5. Beda Air Minum dan Air Kobokan
Mungkin pernah mengalami situasi dimana anda tanpa bertanya kepada pemilik warung nasi langsung menuangkan air dari ceret plastik yang ada diatas meja ke dalam gelas untuk diminum. Jangan harap orang-orang yang melihat anda akan bersikap kasihan, yang ada malah ditertawakan. Lalu anda pasti bertanya, “Oh Tuhan, apa salah saya?”
Sebenarnya, anda itu gak salah. Yang disayangkan kenapa tidak bertanya terlebih dahulu. Nah, akhirnya sesat kan? Ehh, malu kan? Hahahaaaaa

Orang-orang –terutama pendatang- sering tertipu dengan kehadiran ceret plastik diatas meja. Malah, beberapa warung nasi menempatkan 2 ceret sekaligus di meja-meja mereka. Satu untuk diminum, satunya lagi untuk kobokan. Tapi gampang kok bedainnya, ceret berbahan plastik disediakan untuk kobokan dan biasanya diletakkan bersamaan dengan baskom plastik juga. Baskom itu sendiri sebagai media untuk menampung air bekas cucian tangan anda. Nah, air untuk diminum berada dalam ceret aluminium.


Mengetahui hal ini, teman saya yang tadi ditertawakan pengunjung warung nasi karena kelalaiannya sambil bercucuran airmata berkata “Oh Tuhan, hidup ini gak adil!” Huuftttt……drama!


#6. Main Batu
Istilah ini tidak ada hubungan dengan “lempar batu, sembunyi tangan”. Main batu, istilah yang kelihatan lebih “sangar” dibandingkan dengan saudaranya yang lain, yaitu; main cewek dan main mata. Hahahaaaa, maksa! Istilah yang kembali membingungkan teman-teman dari Pulau Jawa ini saya alami saat membawa rombongan mereka ke TPA Kampung Jawa untuk melihat lokasi pembangunan tempat daur ulang sampah.

Pada saat berada di lokasi pusat pembuangan sampah terpadu kota Banda Aceh ini, salah seorang teman melihat beberapa petugas -tidak jauh dari tempat kami berdiri- sedang mengeluarkan satu set sofa bekas. Tampaknya mau dijual ke penampung barang bekas.

Teman saya yang punya naluri bisnis coba mendekati mereka dan sesampai disana ia berkomentar “Wah sofanya masih bagus, coba kalau joknya diganti baru terus dijual lagi pasti harganya lumayan tuh”. Salah seorang petugas menyahut “Sofa ini emang mau dijual, dalam kondisi jelek gini aja sudah ada penampung yang mau membeli kok.” Si petugas kembali melanjutkan “Percuma diperbaiki, selama ini sofa-sofa ini cuma didudukin buat main batu aja.”

Main batu? Hmmmmmm……teman saya menoleh kearah saya, lalu ia bertanya “Main batu itu apa ya?” Sebelum sempat saya menjawab, salah seorang petugas yang mendengar sambil tertawa menjawab “Main batu itu sama dengan main domino. Hanya saja bahannya yang berbeda. Kalau di Aceh domino yang popular adalah domino yang menggunakan bahan yang keras, sekeras batu. Sehingga kalau dipukul ke atas meja yang berbahan kayu atau triplek akan mengeluarkan suara yang khas”.

Mendapat penjelasan tersebut, teman saya mengangguk-angguk sambil menyelutuk “Kirain main batu itu becandaan sesama teman trus pukul-pukulan atau lempar-lemparan pakai batu.” Hiiii sadis amat. Kalau main batu seperti yang ada dalam pikiran teman saya sebelum mendapat penjelasan yang sebenarnya, itu sih namanya main hakim sendiri bukan main batu. :D