Jumat, 06 Februari 2015

Dari Lampulo Ke Pulo Breuh (Catatan Perjalanan Hari I)

Rabu yang terik. Kondisi Banda Aceh saat itu belum terlalu siang tapi cuaca sudah mulai menyengat kulit. Sekumpulan awan bertebaran dan menghiasi langit diatas kota Banda Aceh namun bayang-bayang awan yang jatuh ke permukaan tanah tak juga membuat suasana lebih teduh. Beberapa menit menjelang pukul setengah sebelas, aku meninggalkan rumah dalam kondisi gerah sambil membawa sebuah dry bag dan ransel. Lalu menaiki becak menuju Lampulo. Sedikit terlambat dibanding Khairil dan Bahrul, 2 teman perjalanan yang sudah tiba di Lampulo sejak pukul 10 pagi.  Nasib baik, begitu tiba di Lampulo, angin kencang yang berhembus dari laut sedikit menetralisir rasa gerah yang melanda tubuh. Angin kencang yang datang bersamaan dengan aroma ikan segar.

Lampulo adalah sebuah perkampungan nelayan di muara Krueng Aceh (Sungai Aceh). Kawasan ini boleh jadi lebih tua usianya dari kota Banda Aceh. Disini warna warni kapal nelayan berjajar di kiri dan kanan sungai. Mulai dari jembatan Peunayong hingga ke muara Krueng Aceh dan Lampulo berada tak jauh dari muara tersebut. Datanglah pada jumat pagi saat nelayan tak melaut maka kemeriahan warna warni kapal kayu akan lebih sempurna berpadu dengan aroma anyir ikan segar, bau laut yang datang bersama hembusan angin, aktifitas nelayan diatas kapal-kapal kayu, lalu lalang para pembeli ikan yang datang dari kota, kesibukan para pedagang (mugee) yang menawarkan ikan pada sebuah keranjang rotan besar, semuanya menyatu pada sebuah kawasan nelayan yang bernama Lampulo.
Bukan tanpa alasan aku berada di Lampulo hari itu.  Ya, siang nanti kami -aku, Khairil, Bahrul dan Reza- akan menyeberang ke Pulo Breuh (Pulau Breuh) dari Lampulo. Pulo Breuh merupakan pulau terbesar di gugusan Pulo Aceh dan masuk dalam wilayah Kabupaten Aceh Besar. Perjalanan ini sudah lama direncanakan namun selalu tertunda karena kesibukan masing-masing. Halangan rupanya belum berakhir, pada hari keberangkatan Reza mendadak tak dapat ikut namun ia akan menyusul di hari berikutnya, kamis siang. Oohhh #t-shirt_tragedy hahahaaaaaa :)
Karena ini  kali pertama kami akan mengunjungi Pulo Breuh yang berada di wilayah administratif kecamatan Pulo Aceh, kami sepakat berkumpul di Lampulo pukul 11 meski jadwal keberangkatan kapal jam 2 siang. Waktu panjang yang tersisa kami isi dengan mencari infomasi sebanyak mungkin tentang lokasi tujuan. Info bisa didapat dari siapa saja, dari nakhoda, pawang laut, pemilik kapal penyeberangan, pekerja yang mengangkut barang ke kapal, penumpang yang baru tiba atau yang akan berangkat bahkan pedagang makanan disekitar dermaga pun kami mintai informasi. 

Sebelumnya sudah banyak info yang ddapat dari teman-teman yang pernah mengunjungi pulau yang memiliki teluk-teluk indah. Meski kami fikir terlalu banyak info bisa bikin bingung tapi harus diimbangi juga dengan info-info secara langsung. Biasanya informasi yang bersumber langsung dari orang-orang yang sering bepergian ke Pulo Breuh lebih akurat daripada searching di google. Heheheeee  

Setelah informasi yang didapat dirasa cukup, kami duduk dan menunggu diatas dermaga kayu sederhana berukuran 7 kali 3 meter. Letak dermaga di bibir Krueng Aceh hanya dipisahkan oleh tembok tebal setinggi 1 meter dengan jalan raya. Di dermaga ini juga sedang bersandar 2 kapal kayu, KM Sulthan Bahari dan KM Jasa Bunda. Kedua kapal ini menempuh rute Pulo Breuh namun kapal pertama merapat di dermaga Lampuyang sedangkan satu lagi mendarat di dermaga desa Gugop. Kami memilih opsi pertama, selain berangkat lebih awal, jarak tempuh menuju Lampuyang sedikit lebih cepat dari pada tujuan Gugop.

Kesibukan di dermaga menjadi tontonan pada siang yang terik, kesibukan para pekerja yang mengangkut sepeda motor dan barang-barang kebutuhan untuk dibawa ke Pulo Breuh.

Pukul 2 lebih 10 menit, KM Sulthan Bahari bergerak meningalkan dermaga kayu ditepi Krueng Aceh.  Meninggalkan semua kesibukan di kawasan nelayan terbesar di Banda Aceh.  Kapal bergerak diiringi gerimis yang datang tiba-tiba. Cuaca memang sulit ditebak siang itu. Begitupun laut. Ombak tenang yang kami rasakan diawal penyeberangan jauh berbeda ketika kapal berada di tengah laut antara Ulee Lheue dan Pulau Weh. Dan ombak semakin bergelora ketika kapal melintas dilepas pantai antara Ujung Pancu dan Pulau Nasi.  Seorang perempuan belia yang duduk disebelah kanan ku tak bersuara. Ia tampak takut dan memeluk tiang kapal erat-erat.  Sedangkan aku? Hmmmmm takut juga sih.

Setelah menempuh perjalanan laut selama 1 jam 40 menit (10 menit lebih lama dari perkiraan karena ombak dan angin kencang), akhirnya Sulthan Bahari merapat di dermaga desa Lampuyang. Ada pemandangan unik ketika kapal mendekati Lampuyang, kami disambut oleh dua buah tanjung di kiri kanan. 


Kedua tanjung tersebut saling berhadapan, mereka dipisahkan oleh permukaan air selebar 55 meter, seperti selat kecil tempat kapal keluar-masuk. Bentang alam itu membentuk  "gerbang alami" bagi kapal yang akan merapat di Lampuyang atau keluar menuju laut. That’s really a perfect natural gate. Puncak kedua tanjung tersebut dipenuhi jajaran pohon kelapa. Siluetnya tampak cantik kala matahari terbit. (Bersambung)