Selasa, 09 September 2014

Tanjung Ujung Kelindu, Cerita Dari Ujung Dunia

Membaringkan tubuh diatas hamparan rumput tak jauh dari ujung tebing adalah sesuatu yang mustahil dapat dilakukan di kota besar. Dibawah sana, suara ombak yang berakhir  pada dinding tebing memecah sunyi malam. Pada saat yang bersamaan jauh diatas sana, cahaya jutaan bintang bertebaran di langit malam. Sementara itu, menjelang pagi adalah waktu yang tepat menanti dan menatap matahari yang muncul dari ufuk timur. Pada sebuah teluk kecil tak jauh dari tempat kami mendirikan tenda, kami puaskan untuk berenang pada beningnya air diantara debur ombak yang bersahabat. Lalu yang tak kalah menarik, berdiri di ujung tebing karang terjal yang menjorok ke laut dengan hamparan gradasi air berwarna hijau muda, tosca, biru dan biru pekat dan moment ini membuat kami serasa sedang berada di ujung dunia.  Semua itu kami lakukan saat berada di pesisir timur kabupaten Aceh Besar, pada sebuah kawasan bernama Tanjung Ujung Kelindu.

Perjalanan mencari Tanjung Ujung Kelindu awalnya adalah perjalanan penuh keragu-raguan. Ragu-ragu –kalau tak mau disebut takut- ketika beberapa orang mengingatkan bahwa di lokasi tersebut banyak ular berkeliaran. Masih terbersit ragu ketika diantara kami tak ada seorangpun yang tahu persis letak lokasi yang akan dikunjungi. Pun tak  ada yang tahu pintu masuk menuju Tanjung Ujung Kelindu. Semua masih samar-samar.  Walaupun begitu, kami tetap saja nekad dan memutuskan untuk menemukan lokasi tersebut meski hanya berbekal informasi verbal dari beberapa teman yang sudah pernah camping disini. Yaa……meski indah ternyata tidak banyak yang tahu lokasi tanjung ini.


Hari Sabtu, pukul 4 sore, sesuai kesepakatan, kami berkumpul di Harvies Coffee di kawasan Lamprit. Ada 9 orang yang berangkat. Setelah menempuh perjalanan sejauh 33 km meninggalkan kota Banda Aceh dan melewati pelabuhan Malahayati, Krueng Raya, dengan kondisi jalan yang mulus. Akhirnya kami menemukan sebuah pintu pagar kebun penduduk disebelah kiri jalan. Meski masih belum yakin,  namun kelihatannya jalur ini memang mengarah ke lokasi yang kami tuju. Exito.....setelah menempuh jalur tanah berkelok-kelok naik turun bukit melewati padang rumput, kami berjaya menemukan tanjung dengan teluk kecil yang indah. Sama Beruntungnya dengan mereka yang pernah singgah dan menghabiskan malam disini.

Lembah-lembah kecil dan Lekukan bukit-bukit karang serta hamparan padang savanna yang luas adalah pemandangan pertama sekaligus menakjubkan menyambut kedatangan kami. Savana menjadi rumah bagi sejumlah hewan ternak sekaligus lahan bagi lembu dan kambing merumput disini. Pada hamparan savana pula, pohon-pohon tumbuh tidak saling berdekatan antara satu dengan lainnya. Juga Jalan-jalan setapak yang membentuk garis memanjang dan berkelok-kelok pada punggung bukit.

Keberuntungan yang lain adalah Tuhan menganugerahi perjalanan ini dengan cuaca cerah dan itu artinya sepeda motor yang dikendarai dapat mencapai hingga lokasi tempat kami akan bermalam yaitu sebuah bukit yang ditutupi rumput kering dengan dinding karang yang terjal, dimana bagian bawah  bukit bersisian langsung dengan laut. Tempat dimana  ombak  berakhir menghempas kaki bukit karang. Jika tak ingat maghrib segera menjelang, ingin rasanya berlama-lama di tanjung ini. Mengagumi keindahannya dikala senja. 

Sebelum gelap, kami memutuskan untuk mendirikan tenda. Saat itu pula seorang penduduk kampung dengan sepeda motor tuanya mendatangi kami. Aku menghampiri laki-laki yang kutaksir  berusia 50-an tahun. Setelah memperkenalkan diri akhirnya kuketahui namanya Pak Azhar. Ia juga memberitahu bahwa dia lah pemilik lahan tempat dimana kami akan bermalam. Pertanyaan pertama yang meluncur dari mulutnya “Padum droe awak droeun, na mee inong?" Berapa orang kalian dan tidak ada yang membawa perempuan kan? Aku meyakinkan pak Azhar bahwa kami bermalam disini hanya 9 orang dan tak ada perempuan yang ikut bersama kami. Sebagai "tamu" di sebuah daerah, tentu saja  anda harus menghormati "local wisdom" kalau tak mau diusir. Jika ingin bebas, pergilah ke tempat dimana anda bisa melakukan apa pun tanpa ada larangan. Bukan begitu?

Sebagai satu-satunya propinsi di Indonesia yang memberlakukan hukum syariah, Aceh menerapkan aturan melarang para perempuan berdua-duaan atau berkumpul hingga larut malam dengan laki-laki yang bukan mahram. Termasuk kegiatan camping/bermalam di lokasi wisata. Tapi jangan kecewa dulu, jika kaum hawa Aceh ingin menikmati Tanjung Ujung Kelindu dari pagi hingga menjelang petang, silakan saja. Itu dibolehkan kok, sejauh tidak melanggar kearifan lokal yang diterapkan. 

Nah, berada tepat di Tanjung Ujung Kelindu, pesona pertama yang dapat dilihat adalah sebuah teluk kecil. Ada jalan setapak yang menuruni bukit untuk mencapai teluk indah ini. Siapapun akan tergoda untuk berenang disini. Lihat link berikut; http://www.youtube.com/watch?v=iAEVxdtLqU0 


Di kejauhan, kami juga dapat memandang pantai pasir putih Lhok Mee, tepat disebelah kanan. Lhok Mee adalah pantai yang populer, dimana pohon-pohon besar tampak tumbuh berjajar di air. Sebuah fenomena alam yang terjadi akibat garis pantai semakin menjorok ke daratan. Sehingga pohon-pohon yang dulu jauh dari tepi pantai kini tampak seperti tumbuh dari dalam air. Semakin jauh di sisi kanan mengarah ke tenggara, tampak puncak Gunung Seulawah muncul dari balik bukit-bukit savana. Masya Allah, takjub.

Lalu pesona apa yang dapat kita saksikan disisi kiri? Selain Tanjung Ujung Kelindu yang menjadi “ujung dunia”, nun jauh sisi kiri lokasi ini juga menawarkan pesona laut dengan kemunculan pulau kecil Amat Ramayang. Kisah Amat Ramayang adalah folklore Aceh tentang akhir hidup seorang anak lelaki yang mengabaikan ibu kandungnya, hingga akhirnya kapal mereka dikutuk menjadi Batu. Lebih jauh lagi, tampak Pulau Weh berdiri kokoh muncul dari kedalaman laut. Disekitar kawasan ini, jika teliti siapapun akan menemukan satu bunker Jepang peninggalan Perang Dunia II. Yang kini terlihat hanya lubang pengintai yang mengarah ke laut dan lubang udara yang berada diatas. Sedangkan jalur masuk bunker sudah tertutup olah ranting-ranting pohon. Bunker itu seperti berkamuflase dengan kontur bukit.

Hanya satu malam kami berada disini dan itu rasanya belumlah cukup. Menjelang siang sebelum balik ke Banda Aceh,  ada “ritual” terakhir yang kembali kami lakukan seperti pada hari pertama kami tiba. Berdiri pada ujung curam bukit karang. Menjejakkan kaki diantara bukit-bukit karang terjal yang berhadapan langsung dengan Selat Malaka dan moment ini benar-benar membuat kami serasa berada di ujung dunia. Dimana hamparan laut biru seperti tak berbatas terbentang didepan mata. 

Ya…..menyusuri pantai timur kabupaten Aceh Besar  menyadarkan kami betapa garis pantai disini menyimpan pesona yang tak kalah menarik dengan pesisir barat Aceh. [ay]

Foto-foto berbeda Tanjung Ujung Kelindu, dapat dilihat disini

Rabu, 20 Agustus 2014

Lhok Keutapang


Hujan yang mengguyur kota Banda Aceh sejak 3 malam berturut-turut, sejujurnya membuat nyali sedikit menciut untuk menerima ajakan Rial Hayat dan Muhib Didi melakukan trekking sekaligus camping yang direncanakan pada 16 Agustus 2014 ke Lhok Keutapang, salah satu dari empat pantai tersembunyi (secret beaches) yang terletak di pesisir barat Aceh Besar. 

Namun menolak ajakan mereka bukan sebuah keputusan yang tepat, apalagi mengingat bahwa ada satu rangkaian perjalanan yang harus dilengkapi.  Jika menerima ajakan tersebut artinya aku akan melengkapi kunjungan ke 4 lokasi pantai-pantai tersembunyi (sebelumnya telah mengunjungi pantai Lhok Mata Ie, Langee dan Momong) yang terkenal keindahannya. Sayang sekali jika tawaran mereka dilewatkan begitu saja. Yaahhh, pada akhirnya pembaca pasti tahu bahwa aku tak kuasa menolak ajakan itu. Kami pun akhirnya "klik, ketemuan, deal" *meminjam tagline situs belanja online. Hahahaaaa. Saat keputusan untuk bergabung itu diambil, aku hanya berharap hujan tidak turun saat pendakian berlangsung.

Sabtu, 16 Agustus 2014, menjelang pukul 15.30 rombongan kami memutuskan untuk memulai pendakian dari kawasan Ujung Pancu, sebuah perkampungan yang masuk dalam wilayah kecamatan Peukan Bada. Alhamdulillah cuaca saat itu berpihak kepada kami. Siang itu langit tampak cerah meski tadi pagi hujan sempat turun walau sesaat. Ada 9 orang tergabung dalam pendakian kali ini. Namun sayang, satu orang harus mengundurkan diri meski sudah sempat melewati beberapa ratus meter jalur pendakian. 

Nah inilah mungkin beberapa alasan kenapa dalam rombongan ada yang harus "menyerah", dibandingkan 3 pantai tersembunyi lainnya yang terletak di sepanjang pesisir barat Aceh Besar yang sudah pernah dijalani yaitu pantai Lhok Mata Ie, Langee dan Momong, akses menuju pantai Lhok Keutapang masuk dalam kategori yang paling berat. Ia juga memiliki jalur pendakian yang lebih panjang dan itu artinya trekker harus menghabiskan waktu tempuh lebih lama. Beberapa bagian merupakan tanjakan batu yang curam. Melewati tanjakan dengan kemiringan mendekati 55 derajat bukanlah hal yang mudah dijalani apalagi selepas hujan. Jalur tanah yang licin bisa berakibat fatal bagi para pendaki jika tak siap secara fisikSelain itu, disekitar kawasan pantai tidak terdapat sumber air tawar. Berbeda dengan pantai Lhok Mata Ie yang memiliki sumber air tawar yang dapat ditempuh sekitar 15 menit berjalan kaki. Memang benar, sebelum mencapai Lhok Keutapang, pendaki akan menemukan aliran air (alur) namun letaknya sangat jauh. Jika tak ingin kehausan selama menginap di alam terbuka di sekitar pantai Lhok Keutapang, bawalah persediaan air yang cukup. Disisi lain, membawa kebutuhan air ekstra selama perjalanan juga menjadi beban tersendiri bagi yang tidak fit. Namun itu juga sebuah keharusan.


Meski medan yang ditempuh sangat menguras tenaga, akhirnya kami pun tiba dengan selamat sebelum matahari tenggelam. Sungguh, 3 jam yang sangat melelahkan. Langit senja itu tampak mulai pekat.  Momen sunset yang diharapkan tak mungkin terpenuhi karena langit tertutup oleh awan kumulus. Namun ada pemandangan lain yang tak kalah indah. Sebelum mencapai garis pantai, padang ilalang terhampar di hadapan. Angin yang bertiup serentak meliuk-liukkan ilalang. Ke kiri dan kanan, mengikuti irama angin. Pun merasakan sensasi alam dikala ujung-ujung ilalang menyentuh kulit saat melintas jalur pejalan kaki yang membelah padang ilalang.


Diujung hamparan hijau ilalang, 2 pokok kayu berdiri laksana gerbang menyambut siapapun yang datang ke pantai ini. Disini, berdiri diantara dua pokok kayu dengan cabang yang tumbuh sejak dari bagian bawah pohon, pengunjung dapat melihat langsung Pulau Bunta secara utuh di depan mata. Begitupun Pulo Batee terlihat jelas disisi kanan.


Pemandangan yang berbeda akan terlihat disaat pagi menjelang siang hari, keindahan padang ilalang akan lebih dramatis. Warna hijau kekuningan tertimpa cahaya mentari pada hamparan ilalang yang luas serta warna biru kehijauan air laut ditambah sekumpulan awan putih di langit biru yang pekat adalah perpaduan warna warni alam yang sungguh indah. Kami menikmati suasana tersebut saat melakukan perjalanan kembali ke Banda Aceh. Pemandangan yang menyegarkan mata, menghilangkan penat dan tentu saja semakin menambah kekaguman akan ciptaan Illahi. 


Pada akhirnya, lengkap sudah penjelajahan pada 4 pantai tersembunyi yang tersebar di pesisir barat kabupaten Aceh Besar. Pantai Lhok Keutapang menjadi penutup rangkaian tersebut. Sekaligus membuktikan ucapan beberapa orang yang sebelumnya pernah menjelajah lokasi ini bahwa selain memiliki garis pantai pasir putih paling panjang, pantai Lhok Keutapang itu sungguh cantik.

Rabu, 13 Agustus 2014

5 Aktifitas Wajib di Phi Phi Island

Jangan kaget kalau tiba-tiba saat sedang berjalan kaki di Phi Phi Don, dari arah belakang ada yang meneriakkan suara "Peweet" berulang kali atau bunyi lain yang anda dengar menyerupai suara bel pada sepeda, Kring-kring. Kring-kring. Kring-kring. Itu artinya, para pejalan kaki segeralah menepi ke pinggir jalan untuk memberi kesempatan pengendara sepeda lewat. Suara-suara yang ditirukan oleh mulut pengendara sepeda itu terdengar karena kebanyakan sepeda disini tidak dilengkapi oleh bel yang biasanya dikaitkan pada stang kendaraan roda dua itu. 
Pulau ini terbilang unik, jalan-jalan disini tak lebih dari 3 meter lebarnya. Awalnya lokasi yang kini menjadi kawasan wisata adalah perkampungan nelayan yang didominasi kaum muslim. Paska tsunami, kawasan Ton Sai bay dan Loh Dalum bay yang ikut hancur akibat terjangan gelombang tsunami yang diperkirakan mencapai tinggi 6.5 meter ini mulai berbenah. Namun karena tak ada jalan yang dapat dilewati oleh 2 kendaraan roda empat secara bersamaan, mobilitas warga dari satu sempat ke tempat yang lain dilakukan dengan bersepeda atau berjalan kaki. Karena itu pula lokasi wisata kelas dunia ini jauh dari polusi dan kebisingan. Jika ada kemeriahan di malam hari seperti live performance atau music, biasanya hanya dilakukan oleh beberapa hotel dipinggir pantai dan itu pun dibatasi tidak sampai larut malam.

Phi Phi Don adalah salah satu dari 6 pulau sekaligus pulau terbesar di gugusan Phi Phi island. Meski tidak terlalu luas, kurang dari 10 km per segi namun pulau indah ini menawarkan begitu banyak atraksi wisata yang menarik.  Layaknya pulau-pulau wisata lain di seluruh dunia, pulau ini memberi banyak pilihan bagi para wisatawan,  mulai dari massage, paket island hopping, snorkeling, diving, pilihan ragam cenderamata, pembuatan tatoo, bar dan restoran kaki lima selera internasional, aneka olahan sea food di tepi pantai, hotel berbintang hingga kelas backpacker dan Pee Pee View Point.

Apa saja yang dapat dilakukan selama berada di Kepulauan Phi Phi? Berikut 5 aktifitas pengisi liburan selama berada di pulau cantik ini.

1. Belanja Souvenir
Untuk ukuran sebuah kawasan wisata yang mendunia seperti Phi Phi Don, harga souvenir disini masuk dalam kategori "murah". Souvenir yang ditawarkan juga beragam, mulai dari fridge magnet, gantungan kunci,  kartu pos cantik hingga t-shirt yang murah meriah dan patung-patung kayu. Sebuah postcard dengan kualitas cetakan lux glossy -biasanya bergambar keindahan alam pulau Phi Phi- hanya 10 Baht atau tak lebih dari 4000 rupiah. Sementara itu dengan uang senilai 100 baht (sekitar 35.000 IDR) pegunjung dapat membeli sebuah t-shirt dengan kualitas yang bagus yang pantas dikenakan saat traveling.

2. Berburu Kuliner
Disini beragam kuliner mampu memuaskan rasa lapar anda. Kalau selama ini ada istilah "Rasa bintang lima, harga kaki lima" maka di Phi Phi Don istilah tersebut berubah menjadi "Rasa internasional, harga kaki lima". Selain sea food (kalau yang ini benar-benar menguras kantong), kuliner dari berbagai negara bisa ditemukan disini, mulai dari kudapan India, makanan Melayu (halal food), China, kuliner Thai yang mendominasi juga western food dapat dijumpai hampir disegala sudut pulau. Benar-benar memanjakan lidah pecinta kuliner. 


Catatan untuk wisatawan muslim “tetap cari halal food, ya". Baca http://arieyamani.blogspot.com/2014/08/halal-food-di-thailand-1.html

3. Massage
Penat selepas hunting kuliner dan souvenir, ada baiknya refleksi di tempat-tempat pijat yang bertebaran dimana-mana. Tawaran pijat juga bermacam-macam dengan harga yang bervariasi. Mulai dari pijat kaki/refleksi, body massage hingga oily massage. Ehemm ehemmm. Kalau benar-benar letih, cari saja tempat pijat dengan jendela kaca lebar yang tidak ditutupi tirai. Para therapist juga dapat dipilih, mau ditangani oleh perempuan atau laki-laki atau ladyboy. Terserah suka yang mana.  Tapi jumlah therapist lelaki jauh lebih sedikit dibanding therapist wanita yang berpakaian sexy. Asyeeekkk. Ehh, tapi jangan salah, penampilan ladyboy disana jaaaauuuuuuuuh lebih sexy daripada perempuan sungguhan. Awas tertipu dengan perempuan KW2. *Nyengir. Tawaran paling rendah untuk pijat refleksi durasi 60 menit adalah 200 Baht atau 150 Baht untuk 30 menit.

4. Island Hopping
Anita, Barakuda, Banana Island dan Mosquito adalah beberapa nama agent wisata yang menawarkan paket island hopping selama berada di Phi Phi Don. Ada beberapa pilihan waktu trip yang ditawarkan. Untuk  half day morning trip dimulai pukul 9.30 hingga 13.30. Half day afternoon trip dilakukan pada 13.00 hingga 18.00 atau hingga tiba waktu sunset. Sedangkan one day trip, aktifitasnya dimulai pukul 9.30 hingga sunset. Tawaran harga untuk setengah hari ( a half day package) 500 Baht. Sedangkan untuk satu hari penuh (full day package) 650 Baht. Harga tersebut sudah termasuk makan siang, buah (biasanya potongan semangka atau papaya), air mineral dan peralatan snorkeling (mask, snorkel, fins dan life jacket).


Lokasi yang dikunjungi adalah Bamboo island dilanjutkan ke Loh Moo Dee, Shark Point, Monkey beach (3 lokasi ini berada disekitar Phi Phi Don), Viking cave, Pileh bay, Loh Samah bay, Maya bay (4 lokasi terakhir terletak di Phi Phi Ley). Lebih lengkapnya dapat dibaca di; http://arieyamani.blogspot.com/2014/08/island-hopping-di-phi-phi-island.html

5. Menatap Sunset di Pee Pee View Point


Nah, ini dia lokasi favorit para wisatawan jika sedang berada di Phi Phi Don. Phe Phe View point, lokasi tertinggi di pulau ini. Karena berada di ketinggian, untuk mencapai Pee Pee view point, pengunjung harus menaiki ratusan anak tangga hingga mencapai puncaknya. Memasuki kawasan ini, pengunjung wajib membayar tiket masuk sebesar 20 Baht. 

Disini para turis dapat melihat kawasan Ton Sai Bay sekaligus Loh Dalum Bay dari ketinggian. Menatap pulau Phi Phi Ley yang tampak kecil di sebelah kiri. Menjelang senja pengunjung dapat menatap sunset yang jatuh di garis horizon laut Andaman. 


Lokasi Pee Pee View Point  dikelola sekaligus dimiliki oleh Pak Abdul Rahman, seorang muslim Thailand yang ramah.  Jika kita memperkenalkan diri sebagai orang Indonesia, maka sosok lelaki tua dengan kisaran usia 50-an tahun ini akan mengajak anda mengobrol panjang lebar tentang banyak hal. Tentang dunia islam, muslim di Aceh, tragedi tsunami (yang juga melanda pulau ini tahun 2004). Seperti yang terjadi pada kami saat itu, berbincang hingga malam di warungnya yang bersih sambil menyaksikan sekumpulan wisatawan Eropa yang sedang menunggu matahari tenggelam di ufuk barat.  

Karena pemiliknya seorang muslim, jangan kaget kalau di pintu masuk selain aksara Thai, anda juga dapat melihat huruf hijaiyah yang dirangkai membentuk tulisan Ahlan wasahlan. Selamat datang. Selamat berlibur di Phi Phi Don.