Kamis, 30 Mei 2013

5 Jejak Aceh di Pulau Pinang (Bagian I)

Pulau Pinang atau Penang (orang Malaysia menyebutnya dengan ejaan keinggris-inggrisan, Peneng) diambil dari nama pohon pinang yang banyak tumbuh di pulau ini. 

Sejak dibuka oleh Kapten Francis Light pada tahun 1786, pulau yang berada di jalur lintasan laut strategis di pantai barat semenanjung Malaysia ini banyak  disinggahi oleh bangsa-bangsa asing hingga akhirnya mereka berusaha dan menetap disana. Kehadiran pelbagai bangsa dan etnis, membentuk sifat kosmopolitan generasi yang mendiami Pulau Pinang. Selain 3 kaum utama yaitu China, India dan Melayu. Negeri ini juga turut menjadi tempat berkumpulnya bangsa-bangsa lain dari Asia Tenggara dan Eropah. Suku bangsa Aceh adalah salah satunya, selain suku Jawa, Bugis dan Minangkabau serta Burma dan Siam.

Sehingga pulau yang pernah terkenal dengan julukan “Pearl of Orient” ini, bukanlah pulau asing bagi masyarakat serantau (Nusantara dan sekitarnya).
Snouck Hurgronje pernah menulis “Bagi masyarakat Aceh, Penang adalah gerbang menuju dunia dalam banyak hal terutama untuk memasarkan produk mereka langsung menuju Eropa”. Jejak-jejak sejarah yang berkaitan dengan perdagangan, ekonomi, agama dan pendidikan serta nilai-nilai kehidupan lainnya, antara Aceh dan Pulau Pinang hingga kini masih dapat ditemukan pada beberapa situs serta kawasan yang tersebar di Pulau Pinang dan beruntungnya, sebagian besar masih dirawat dengan sangat baik.

#1 Lebuh Acheh

Lebuh atau Jalan Acheh terletak pada kawasan inti warisan dunia (World Heritage Core Zone) Kota George Town.  Pada masanya, jalur ini memiliki peran  penting mendukung perkembangan kota George Town karena pernah menjadi pusat persinggahan Jemaah haji dan pusat perdagangan rempah. Pada masanya, Hampir sepanjang tahun Lebuh Acheh menjadi begitu hidup dan semarak oleh kehadiran para Jemaah haji dan keluarga pengantar. Kehadiran dan aktifitas mereka berdampak pada  munculnya kawasan perdagangan dengan rumah-rumah kedai sepanjang jalan yang menawarkan beragam kebutuhan. Mulai dari rempah, makanan, buku-buku islam hingga jasa pengurusan haji.
Much of the traffic of pilgrims to and from Muslim Holy land for the haj went through Acheen street where tickets for the trip were sold. Shopping was also favourite activity for both pilgrims and their well wishers.


#2 Masjid Lebuh Acheh

Dari plakat yang ditempel pada tiang pintu masuk halaman masjid dari sisi Lebuh Acheh, tertulis bahwa masjid ini dibangun oleh seorang saudagar asal Aceh, Tunku Syeh Husain Idid pada tahun 1808.  Begitu memasuki pekarangan masjid,  pengunjung disambut oleh menara masjid bersegi delapan dengan beberapa jendela kecil mengelilinginya. Arsitektur masjid ini merupakan perpaduan 3 langgam arsitektur, Moor, China dan Klasik.  Langgam arsitektur Moor dapat kita lihat pada bentuk lengkung yang menghiasi façade bagian utara, timur dan selatan bangunan masjid. Juga pada plesteran dinding dan mihrab pada interior masjid. Pengaruh arsitektur China kuat sekali pada bangunan menara masjid yang merupakan representasi dari bentuk pagoda. Sedangkan gaya klasik dapat ditemui pada tiang-tiang besar yang menghiasi façade dan beranda masjid. Seperti umumnya peninggalan arsitektur masjid-masjid tua di nusantara, kita tidak akan menemukan kubah pada bangunan utama masjid.

Di awal perkembangannya, selain berfungsi sebagai basis masyarakat Islam di Penang, kehadiran Masjid Lebuh Acheh ini semakin istimewa bagi para Jemaah haji karena komplek masjid ini selalu dipadati Jemaah hampir sepanjang tahun terutama di musim haji. Perjalanan menggunakan transportasi laut yang memakan waktu berbulan-bulan menjadikan komplek masjid ini diinapi oleh para pengantar Jemaah haji selama menunggu mereka selesai menunaikan rukun islam ke 5 di tanah suci Mekkah. Begitu seterusnya hingga musim haji berikutnya tiba.




#3 Tengku Syed Hussain Al-Idid

Sejarah Lebuh Acheh dan Masjid Melayu Lebuh Aceh, tentu tak bisa dilepaskan dari peran Tengku Syed Hussin Al-Idid, seorang bangsawan sekaligus saudagar asal Aceh keturunan Arab dari Hadramaut, Yaman.
Kawasan “Aceh” di Pulau Pinang ini bermula dengan kedatangan beliau pada tahun 1792. Beliau menetap dan berdagang sehingga menjadi pedagang Aceh yang kaya dan sukses ketika Penang baru dibuka oleh  Kapten Sir Francis Light.  Dengan kekayaan tersebut, Tengku Syed Hussain Al-Idid akhirnya membuka kawasan di Lebuh Acheh. Membangun masjid, menara, rumah tinggal, rumah kedai, madrasah serta kantor perdagangan.

Peninggalan lain beliau berupa rumah tinggal yang terletak di sudut antara Lebuh  Acheh dan Lebuh Armenian, masih dapat dilihat sampai sekarang. Rumah yang pernah dijadikan Museum Islam Penang, kondisinya kini cukup menyedihkan. Terbengkalai dan tidak terawat, seperti tampak pada foto terakhir disebelah kanan. (last photo taken by Song Boon Chong).

Rabu, 29 Mei 2013

Baca, Simak dan Tersenyumlah

Mungkin lebih pantas disebut "Lorong Selingkuh"..... Where is my husband!!
The local chinese say the richmen who lived on Muntri street kept their mistresses here, hence the name"Ai Cheng Hang" or Love Lane

Jadi ingat, dulu kalau salah mengaji kena sabet rotan. Untung rotannya tebal hahaaaa...
Thick, Medium or Thin?
 Ciaaatttttt......beres dah!
The black and white Amahs were cantonese domestic servant from Guangdong who did all kind household chores and would refer to themselves withwry humour as "Yat Keok Tet" or "One Leck Kicks All"
 Nah lho, kejeblos deh!
A cannon shot fired during the 1867 Penang riots made a large hole in this area, hence the name Cannon street
Kirain Nasi Kandar itu ditemukan oleh orang yang bernama Iskandar, ternyata........
Nasi Kandar originated from Tamil muslim hawking home cooked curry dishes and rice from containers slung on both ends of a kandar (a wooden stick)
 Ah Lo bisa aja
The street is name after Kapitan Chung Khong Kwee who generously donated his house to the municipality for vehicular access ensuring that his name lives on for posterity
 Boleh pinjem high heels nya gak? #sambil megang pistol
The counter of the pawnshop typically higher for security
 Bukan lorong "Ayam Kampus" yaa heheheeee
Also known as "Chicken Alley" this lane was once used by poulterers

 Tok Tok Woww.....eh, Tok Tok Mie
Tok tok mee is so called because hawkers would strike "a tok tok" sound to signal their presence
 Hahahaaaa, kalo ada yang jual "Rock Candy" sekarang ini, pasti bakal ditimpuki ama pembeli
Seck Chuan lane was a distribution centre for market produce. Many itinerant hawkers took advantage of the crowds by paying their foods here.  One of the favourite foods sold is Ting Ting Thong or rock candy, a hardened mixture of sugar ses seeds and nut loved by kids. It has to be "chi" and "hammered" to break it into smaller bittable pieces.
Abang becak merangkap Abang pemandu wisata. Haghhhh....
 "Ah Ling, I love U"..... "Oi! You tackle my wife ah?!" Gleekkkk!!!!
Prangin river was a bustling waterways for all manner of goods that were shipped to Penang from all over the world
 "Not only the "kue pau" taste same, you also look same! hahaaaaaa dasar kakek-kakek.
Here, you'll find traditional cantonese restaurant serving dimsum


Mumpung Gratis, Manfaatkan!

Sebelum membaca lebih lanjut tulisan ini, kita sepakat dulu ya bahwa kurs rupiah (Rp) terhadap ringgit Malaysia (RM) sampai tulisan ini dibuat adalah Rp. 3200. Selanjutnya andalah yang mengkali-kalikannya. :D

Terminal ferry Penang - Butterworth d Pulau Pinang.
Zaman sekarang, bisa menikmati transportasi umum tanpa harus membayar sepertinya sesuatu hal yang luar biasa dan sedikit aneh. Aneh? Iya dong, saat dimana kita hidup di zaman yang segala sesuatunya berbayar, tentu saja kebijakan ini dianggap aneh. Untung aja bernafas gak dikenai bayaran!

Tapi apa mungkin sekarang ini ada transportasi gratis? Hmmmmm...Siapa bilang gak mungkin! Ada satu layanan transportasi umum gratis yang bisa ditemukan jika anda sedang berada di Pulau Pinang, Malaysia. Kalau anda ingin meyeberang dari George Town (Pulau Pinang) ke Butterworth (bagian Pulau Pinang yang berada di semenanjung daratan) menaiki ferry di kawasan jetty (sebagian orang mengenalnya dengan sebutan Weld Quay sedangkan pada brosur wisata terbaru Penang, lokasi ini dinamai  “Penang-Butterworth Ferry Terminal”), maka anda tidak perlu mengeluarkan uang sepeserpun. Jarak tempuh antara 2 kota yang dipisahkan oleh selat ini hanya dalam waktu 20 menit saja. Karena itu penyeberangan dengan ferry besar yang juga mampu menampung sejumlah mobil pribadi dan kendaraan roda dua setiap 20 menit sekali dari jam 8 pagi hingga 12 malam. Dan itu gratis! Wowww…

suasana didalam ferry penyeberangan Penang - Butterworth

Tapi tidak untuk jalur sebalik. Jika menyeberang dari Butterworth ke George Town penumpang dikenakan biaya hanya RM 1,2 saja. Heheheee….

Karena itu, disarankan bagi para backpacker jika anda berencana ke Penang menginaplah di hotel-hotel backpacker yang tersebar di Lebuh (jalan) Chulia, Love Lane,  Lebuh Aceh, Lebuh Muntri, Lorong Stewart dan sekitarnya. Tawaran harga untuk dormitory hingga kamar berkisar antara RM 18 hingga RM 35. Karena dari lokasi ini anda cukup menghabiskan waktu antara 10 - 15 menit berjalan kaki ke Penang-Butterworth Ferry Terminal.  Kalau malas jalan kaki, anda bisa menunggu Rapid Penang (bus umum ber AC) di Jalan Chulia/Lebuh Chulia. Bus tersebut biasanya bernomor 201, 202, 204, 101, 103 atau yang bertuliskan “Jetty” di kaca depan bagian atasnya. Selain itu lokasi ini juga tidak jauh dari spot-spot menarik yang ada di sekitar George Town, semisal; Fort Cornwallis, Little India, China Town, Mesjid Kapitan Keling, Mesjid Aceh, Khoo Khongsi dan kalau malam ada deretan kaki lima yang menawarkan beragam makanan.
 
Lebuh Chulia di kota George Town, Penang. Salah satu ruas jalan yang terkenal dengan hotel-hotel bagi para backpacker
Bagi saya pribadi, jika backpackeran ke Malaysia maka Pulau Pinang menjadi semacam “home base”. Selain jaraknya yang dekat dengan Aceh dan Medan. (kurang dari 2 jam terbang bersama Firefly dari Banda Aceh dan hanya 50 menit saja dari Medan naik Air Asia). Selain itu, meski modern, pulau ini lebih tenang dan teratur dari sisi transportasi. Tak de jem, kata orang melayu. Gak macet.
Selanjutnya, dari negara bagian yang dianggap paling makmur di Malaysia ini, saya bisa memutuskan mau backpackeran kewilayah mana lagi di Malaysia.

Berdasarkan pengalaman, begitu anda menyeberang naik ferry dari Penang dan tiba di Butterworth. Anda sudah disuguhi 2 pilihan transportasi yaitu bus dan kereta api ke beberapa negara bagian di Malaysia bahkan juga tujuan ke Singapura dan perbatasan Thailand.

Jika ingin memutuskan naik bus ke Kuala Lumpur maka jarak tempuh dari Butterworth antara 4 hingga 5 jam dengan biaya sebesar 30 Ringgit. Meski di tiket tertera 32 ringgit tapi ternyata di depan loket bus masih bisa ditawar. Lumayan kan bisa berkurang 2 ringgit, yihaaaaa…. Sebelum mencapai KL biasanya bus akan berhenti sejenak di Ipoh, negara bagian Perak. Kalau tujuannya ke Johor Bahru dari Butterworth cukup membayar 62,6 Ringgit.
Jika pilihannya ingin naik kereta api dari Butterworth ke KL maka jarak tempuhnya akan lebih lama, sekitar 6 jam lebih. Itu 2 kota yang tujuan ke arah selatan. Semakin ke selatan anda bisa memutuskan untuk menempuh jalan darat ke Singapura.

Nah, jika menuju ke arah utara maka ada kota Alor Setar (Kedah) dan Kangar (Perlis) yang menanti anda. Alor Star dan Kangar adalah 2 kota yang sangat berarti bagi para backpacker dan pelancong yang ingin menuju Pulau Langkawi atau meneruskan ke perbatasan Thailand.
 
Pemandangan kota Alor Setar dilihat dari Menara Alor Setar
Mumpung sedang berada di Penang, maka saya luangkan waktu jalan-jalan ke Alor Star. hitung-hitung memantau situasi, membaca medan sebelum ke Pulau Langkawi tahun depan. Kenapa Alor Star? Karena dari kota ini pelancong bisa melanjutkan jalan darat ke Kuala Kedah atau sekitar 10 km dari pusat kota Alor Setar sebelum menyeberang ke Pulau Langkawi. Perjalanan menggunakan bus dari Butterworth ke Alor Setar hanya 1,5 jam berbiaya RM 9,8. Nah, bagi yang ingin "nyebrang" ke perbatasan Thailand, dari Alor Setar juga anda bisa lanjutkan perjalanan ke arah utara selama kurang dari 1 jam menuju pos perbatasan Bukit Kayu Hitam.


Terakhir adalah Kangar ibukota negara bagian Perlis. Salah satu kota lumbung padi bagi Malaysia, memiliki persamaaan dengan Kedah. Sama-sama berbatasan langsung dengan negara Thailand. Pos perbatasannya adalah Padang Besar, berjarak hanya 37 km dari kota Kangar. Pelancong juga bisa menyeberang ke Pulau Langkawi dari negara bagian Perlis, yaitu dari Kuala Perlis. Dari Alor Setar (Kedah) ke Kangar sejauh 45 km. Sedangkan jarak tempuh dari Butterworth menuju Kangar sekitar 2 jam perjalanan darat atau 138 km.

Oke, selamat ngubek-ngubek Malaysia.

Rabu, 08 Mei 2013

Pulau Weh, Pahlawan Unifikasi Italia dan Restoran Bixio

Dalam pandangan sebagian besar orang Italia, Pulau Weh ternyata memiliki keterkaitan penting dalam penggalan sejarah negara pizza tersebut. Meski secara geografis jarak antara Italia dan Pulau Weh cukup jauh, ternyata Nino Bixio ditengarai meninggal di pulau paling utara Indonesia ini.


Siapa itu Nino Bixio? Berikut saya terjemahkan dari link dibawah ini; http://en.wikipedia.org/wiki/Nino_Bixio .


Nino Bixio (2 Oktober 1821-16 Desember 1873) adalah seorang serdadu Italia dan politikus, yang berjuang untuk unifikasi Italia.

Lahir dengan nama Gerolamo Bixio di Genoa. Saat masih bocah, Bixio diharuskan oleh orang tuanya untuk meniti karir di angkatan laut kerajaan Sardinia. Setelah menjalani petualangan di berbagai tempat dunia, ia kembali ke Italia pada tahun 1846 dan tergabung dalam Giovine Italia. Pada 4 november 1847, ia menjadikan dirinya terkenal di Genoa dengan merebut kekang "Horse and Crying" Charles Albert, "Lulus Ticino, Sire, dan kita semua bersama anda".  

Dia berjuang melalui kampanye pada 1848, menjadi kapten di bawah Giuseppe Garibaldi di Roma pada tahun 1849, mengambil seluruh tahanan Batalyon Perancis, dan mendapatkan medali emas militer untuk keberanian. Pada tahun 1859 ia memerintahkan pemburu dari Batalyon Alpen, berjuang di pertempuran Varese, dan memperoleh Cross Savoy militer. Salah satu penyelenggara "Garibaldi's Expedition of Thousand"(1860) terhadap dua kerajaan Sisilia, ia berbalik hari dalam mendukung pertempuran Calatafimi.

Sementara itu, kaum tani Sisilia berharap - apa yang tidak didapatkan dari Garibaldi - bantuan langsung dari kondisi yang pedih yang mereka alami akibat paksaan oleh pemilik tanah. Mereka memberontak di beberapa daerah. Di Bronte, pada tanggal 4 Agustus 1860, Bixio memulihkan pertempuran berdarah dengan dua batalion Redshirts akibat tekanan oleh salah satu pemberontakan.  21 Agustus tahun yang sama, Bixio dan Garibaldines memasuki Reggio Calabria, di daratan Neapolitan. Dia mengambil bagian dalam pertempuran Volturno, dimana pada pertempuran tersebut, ia mengalami patah kaki.

Terpilih sebagai Deputi pada tahun 1861, ia berusaha untuk mendamaikan Cavour (Camilio Benso, Count of Cavour. Salah satu negarawan Italia) dan Garibaldi. Pada tahun 1866, kepala Divisi ketujuh, ia mengkover Italia mundur dari pertempuran Custoza, mengabaikan seruan Austria untuk menyerah. Senator yang ditunjuk pada Februari 1870, berikutnya pada  September di tahun yang sama, ia memberikan perintah divisi selama gerakan menentang Roma, menguasai Civitavecchia, dan pada 20 September 1870, ia ikut serta dalam merebut Roma, yang melengkapi usahanya untuk penyatuan (unifikasi) Italia. 

Pada 16 Desember 1873, ia meninggal akibat kolera di Aceh Bay (Teluk Aceh?), Sumatera, dalam perjalanan menuju Batavia  (Jakarta sekarang). Dimana ia dijadwalkan untuk mengambil perintah dari ekspedisi komersial.


Sebenarnya paragraf terakhir mengenai lokasi kematiannya di "Aceh Bay (Teluk Aceh)" sedikit membingungkan. Dimana lokasi yang tepat tidak ada yang mengetahuinya. Selain itu wilayah Aceh juga cukup luas. Namun sebagian besar warga Italia percaya, bahwa Aceh Bay yang dimaksud tersebut ada di wilayah Pulau Weh (bisa jadi yang dimaksud adalah Sabang Bay/Teluk Sabang). 

Hal tersebut didukung oleh pernyataan Bang Luca (warga Italia beristrikan wanita lokal pemilik restoran Bixio di kawasan pantai Iboih Lhong beach), pelajaran sejarah yang diajarkan kepada mereka semasa di sekolah mengenai Nino Bixio menyebutkan bahwa pahlawan besar Italia ini meninggal di sekitar Pulau Weh. Bang Luca juga menambahkan; "Dulu jika ada kapal-kapal Italia yang melintasi Pulau Weh, pasukan  mereka akan memberi hormat ke arah pulau indah ini". 

Meski pemerintah Italia pernah mengirim tim arkeolog ke Pulau Weh namun sampai sekarang tak ada yang tahu dimana tepatnya letak kuburan pahlawan unifikasi Italia ini. Ya, sang pahlawan meninggal dalam sunyi. 

#Tulisan ini dibuat di restoran Bixio, saat obrolan ringan bersama Bang Luca dan Kak Eva, sang pemilik resto (ulasan mengenai restoran Bixio nanti akan dibuat khusus, ya ;). Thanks, bang Luca & kak Eva.#foto; wikipedia