Membaringkan
tubuh diatas hamparan rumput tak jauh dari ujung tebing adalah sesuatu yang
mustahil dapat dilakukan di kota besar. Dibawah sana, suara ombak yang berakhir pada dinding tebing memecah sunyi malam. Pada saat yang bersamaan jauh diatas sana, cahaya jutaan bintang bertebaran di langit malam. Sementara itu, menjelang pagi
adalah waktu yang tepat menanti dan menatap matahari yang muncul dari ufuk
timur. Pada sebuah teluk kecil tak jauh dari tempat kami mendirikan tenda, kami puaskan untuk berenang pada beningnya
air diantara debur ombak yang bersahabat. Lalu yang tak kalah menarik, berdiri di ujung tebing
karang terjal yang menjorok ke laut dengan hamparan gradasi air berwarna hijau muda, tosca, biru dan biru pekat dan moment
ini membuat kami serasa sedang berada di ujung dunia. Semua itu kami lakukan saat berada di pesisir
timur kabupaten Aceh Besar, pada sebuah kawasan bernama Tanjung Ujung Kelindu.
Perjalanan
mencari Tanjung Ujung Kelindu awalnya adalah perjalanan penuh keragu-raguan.
Ragu-ragu –kalau tak mau disebut takut- ketika beberapa orang mengingatkan bahwa di
lokasi tersebut banyak ular berkeliaran. Masih terbersit ragu ketika diantara kami tak ada
seorangpun yang tahu persis letak lokasi yang akan dikunjungi. Pun tak ada yang tahu pintu masuk menuju Tanjung
Ujung Kelindu. Semua masih samar-samar. Walaupun
begitu, kami tetap saja nekad dan memutuskan untuk menemukan lokasi tersebut meski
hanya berbekal informasi verbal dari beberapa teman yang sudah pernah camping
disini. Yaa……meski indah ternyata tidak banyak yang tahu lokasi tanjung ini.
Hari Sabtu, pukul 4 sore, sesuai kesepakatan, kami berkumpul di Harvies Coffee di kawasan Lamprit. Ada 9 orang yang berangkat. Setelah
menempuh perjalanan sejauh 33 km meninggalkan kota Banda Aceh dan melewati
pelabuhan Malahayati, Krueng Raya, dengan kondisi jalan yang mulus. Akhirnya kami menemukan sebuah pintu pagar kebun penduduk disebelah kiri jalan. Meski masih belum yakin, namun kelihatannya jalur ini memang mengarah ke lokasi yang kami tuju. Exito.....setelah menempuh jalur tanah berkelok-kelok naik turun bukit melewati padang rumput, kami berjaya menemukan tanjung
dengan teluk kecil yang indah. Sama Beruntungnya dengan mereka yang pernah
singgah dan menghabiskan malam disini.
Lembah-lembah
kecil dan Lekukan bukit-bukit karang serta hamparan padang savanna yang luas
adalah pemandangan pertama sekaligus menakjubkan menyambut kedatangan kami. Savana menjadi rumah bagi sejumlah hewan
ternak sekaligus lahan bagi lembu dan kambing merumput disini. Pada hamparan savana
pula, pohon-pohon tumbuh tidak saling berdekatan antara satu dengan lainnya. Juga
Jalan-jalan setapak yang membentuk garis memanjang dan berkelok-kelok pada
punggung bukit.
Keberuntungan
yang lain adalah Tuhan menganugerahi perjalanan ini dengan cuaca cerah dan itu artinya sepeda motor yang dikendarai dapat mencapai hingga lokasi tempat kami akan bermalam yaitu sebuah bukit yang ditutupi rumput kering dengan dinding karang yang terjal, dimana
bagian bawah bukit bersisian langsung
dengan laut. Tempat dimana ombak berakhir menghempas kaki bukit karang. Jika
tak ingat maghrib segera menjelang, ingin rasanya berlama-lama di tanjung ini.
Mengagumi keindahannya dikala senja.
Sebelum gelap, kami memutuskan untuk mendirikan tenda. Saat itu pula seorang penduduk kampung dengan sepeda motor tuanya
mendatangi kami. Aku menghampiri laki-laki yang kutaksir berusia 50-an tahun. Setelah memperkenalkan diri akhirnya kuketahui namanya Pak
Azhar. Ia juga memberitahu bahwa dia lah pemilik lahan tempat dimana kami akan
bermalam. Pertanyaan pertama yang meluncur dari mulutnya “Padum droe awak droeun, na mee inong?" Berapa orang kalian dan tidak ada yang
membawa perempuan kan? Aku meyakinkan pak Azhar bahwa kami bermalam disini hanya 9 orang dan tak ada perempuan yang ikut bersama kami. Sebagai "tamu" di sebuah daerah, tentu saja anda harus menghormati "local wisdom" kalau tak mau diusir. Jika ingin bebas, pergilah ke tempat dimana anda bisa melakukan apa pun tanpa ada larangan. Bukan begitu?
Sebagai satu-satunya propinsi di Indonesia yang memberlakukan hukum syariah, Aceh menerapkan aturan melarang para perempuan berdua-duaan atau berkumpul hingga larut malam dengan laki-laki yang bukan mahram. Termasuk kegiatan camping/bermalam di lokasi wisata. Tapi jangan kecewa dulu, jika kaum hawa Aceh ingin menikmati Tanjung Ujung Kelindu dari pagi hingga menjelang petang, silakan saja. Itu dibolehkan kok, sejauh tidak melanggar kearifan lokal yang diterapkan.
Nah, berada tepat di Tanjung Ujung Kelindu, pesona pertama yang dapat dilihat adalah sebuah teluk kecil. Ada jalan setapak yang menuruni bukit untuk mencapai teluk indah ini. Siapapun akan tergoda untuk berenang disini. Lihat link berikut; http://www.youtube.com/watch?v=iAEVxdtLqU0
Di kejauhan, kami juga dapat memandang pantai pasir putih Lhok Mee, tepat disebelah kanan. Lhok Mee adalah pantai yang populer, dimana pohon-pohon besar tampak tumbuh berjajar di air. Sebuah fenomena alam yang terjadi akibat garis pantai semakin menjorok ke daratan. Sehingga pohon-pohon yang dulu jauh dari tepi pantai kini tampak seperti tumbuh dari dalam air. Semakin jauh di sisi kanan mengarah ke tenggara, tampak puncak Gunung Seulawah muncul dari balik bukit-bukit savana. Masya Allah, takjub.
Di kejauhan, kami juga dapat memandang pantai pasir putih Lhok Mee, tepat disebelah kanan. Lhok Mee adalah pantai yang populer, dimana pohon-pohon besar tampak tumbuh berjajar di air. Sebuah fenomena alam yang terjadi akibat garis pantai semakin menjorok ke daratan. Sehingga pohon-pohon yang dulu jauh dari tepi pantai kini tampak seperti tumbuh dari dalam air. Semakin jauh di sisi kanan mengarah ke tenggara, tampak puncak Gunung Seulawah muncul dari balik bukit-bukit savana. Masya Allah, takjub.
Lalu pesona apa yang dapat kita saksikan disisi kiri? Selain
Tanjung Ujung Kelindu yang menjadi “ujung dunia”, nun jauh sisi kiri lokasi ini juga menawarkan pesona laut dengan kemunculan pulau
kecil Amat Ramayang. Kisah Amat Ramayang adalah folklore Aceh tentang akhir hidup seorang
anak lelaki yang mengabaikan ibu kandungnya, hingga akhirnya kapal mereka dikutuk
menjadi Batu. Lebih jauh lagi, tampak Pulau Weh berdiri kokoh muncul dari
kedalaman laut. Disekitar kawasan ini, jika teliti siapapun akan menemukan satu bunker Jepang peninggalan Perang Dunia
II. Yang kini terlihat hanya lubang pengintai yang mengarah ke laut dan lubang udara yang berada diatas. Sedangkan jalur masuk bunker sudah tertutup olah ranting-ranting pohon. Bunker itu seperti berkamuflase dengan kontur bukit.
Hanya satu malam kami berada disini dan itu rasanya belumlah cukup. Menjelang siang sebelum
balik ke Banda Aceh, ada “ritual”
terakhir yang kembali kami lakukan seperti pada hari pertama kami tiba. Berdiri pada ujung curam bukit karang. Menjejakkan kaki diantara bukit-bukit
karang terjal yang berhadapan langsung dengan Selat Malaka dan moment ini benar-benar membuat kami serasa
berada di ujung dunia. Dimana hamparan laut biru seperti tak berbatas terbentang didepan mata.
Ya…..menyusuri
pantai timur kabupaten Aceh Besar
menyadarkan kami betapa garis pantai disini menyimpan pesona yang tak
kalah menarik dengan pesisir barat Aceh. [ay]
Foto-foto berbeda Tanjung Ujung Kelindu, dapat dilihat disini
Foto-foto berbeda Tanjung Ujung Kelindu, dapat dilihat disini