Menyenangkan
sekali memiliki banyak teman dari segala penjuru nusantara dengan ragam latar
belakang yang berbeda. Ketika berkumpul, maka pada saat melakukan pembicaran
akan muncul beragam istilah yang terkadang membingungkan tapi jika kita terbuka
dan mampu menjelaskan dengan baik maka kebingungan akibat perbedaan istilah
tersebut akan menjadi pembahasan yang menarik dan menjurus lucu tanpa ada salah
satu pihak pun yang merasa dilecehkan atau tersinggung.
#1. Misalnya saja istilah “Uang Pecah”.
Suatu
ketika, saat mengantar teman menuju Bandara Sultan Iskandar Muda, di Aceh
Besar. Mobil kami harus berhenti di pintu gerbang bandara untuk membayar
retribusi. Kebetulan pada saat itu didalam mobil tidak tersedia uang pecah yang
biasa diletakkan dekat persneling.
Dalam posisi sebagai driver, repot sekali
rasanya harus merogoh saku celana untuk mengeluarkan uang pecah. Saya melirik
teman disamping dan bertanya “Ada uang pecah gak?” Si teman tampak kebingungan
terbukti dari bahasa tubuhnya yang menaikkan kedua bahu dan menengadahkan kedua
telapak tangannya. Melihat situasi seperti itu, saya kembali meminta “Tiga ribu
rupiah aja, untuk bayar retribusi masuk bandara.” Masih dalam keadaan bingung,
teman saya dengan cepat mengeluarkan uang kertas senilai tiga ribu rupiah.
Selepas melewati gerbang, teman saya dengan wajah kebingungan bertanya “Uang
pecah itu apaan sih, sejenis uang parkir atau uang retribusi gitu?” Saya baru
sadar, ternyata tidak semua orang familiar dengan istilah disuatu tempat atau
daerah, apalagi kalau daerah tersebut baru sekali dikunjungi.
Istilah uang pecah
cuma dikenal dibeberapa kota di sumatera. Istilah ini digunakan untuk menyebut
uang kecil atau uang receh yang popular di Pulau Jawa. Setelah menjelaskan
istilah uang pecah, si teman mangut-mangut sambil bergumam “Ohh saya kira uang
pecah itu, uang yang kondisinya retak-retak!” Glekk.
#2. Burung Gereja
Banyak
sekali wisatawan dan warga lokal yang mengakui jika berada dalam area Masjid
Raya Baiturrahman di kota Banda Aceh akan merasa begitu nyaman. Perasaan nyaman
itu sendiri bisa jadi tercipta karena interior masjid yang ditopang puluhan
pilaster (tiang) sebagai struktur dengan lengkung bawang sebagai ornament mampu
mengarahkan sirkulasi angin secara alami dengan sangat baik. Juga didukung
langit-langit yang tinggi.
Jadi, sepanas apapun cuaca diluar sana, pengunjung
yang berada didalam masjid tetap merasa adem. Tak sedikit pula yang percaya,
karena doa-doa yang tak putus-putusnya dipanjatkan para jamaah menjadikan
masjid ini begitu tentram. Apalagi menjelang sore hari, suara mengaji anak-anak
yang duduk berkelompok dilantai masjid menambah ketenangan hati para pengunjung
dan jamaah masjid.
Selagi
rebahan selepas sholat ashar di Masjid yang menjadi saksi bisu bencana tsunami
ini, aku dan seorang teman dari luar propinsi Aceh menatap ke langit-langit
masjid yang dipenuhi ornamen dengan motif sulur (floral). Ia melihat begitu
banyak burung-burung kecil beterbangan melintas diatas kami.
“Arie,
apa nama burung-burung kecil itu?” temanku mulai membuka percakapan.
“Orang-orang
menyebutnya burung gereja.” Jawabku sambil menikmati kicauan nyaring si burung kecil
yang beterbangan didalam masjid.
“Tapi
kenapa mereka lebih banyak berkeliaran didalam masjid ya?” Yaelaahhhh ni kawan,
itu kan hanya sebuah penyebutan. Hanya sebuah nama. Huuhh pake dibahas lagi.
“Ooohh....burung-burung itu sebelumnya sudah masuk islam.” Jawabku sekenanya.
“Kalau
gitu, kenapa namanya gak diganti aja jadi burung masjid?” Jiiaaahhhh panjang
deh pembahasannya.
“Ya
udah, ntar kita usulin ke pemerintah Aceh untuk dibuat qanun (peraturan daerah)
tentang pergantian nama burung gereja menjadi burung muallaf aja. Gimana?”
#3. Kereta
“Hei
Ri, apa kabar? Lama banget gak ketemu ya.” Seorang teman lama dari Semarang yang
meminta untuk dijemput di Bandara Sultan Iskandar Muda memelukku erat-erat. Setelah
itu aku langsung sesak nafas. Heheheee
“Naik
apa kemari?” kemudian si teman melanjutkan pertanyaan.
“Bawa
kereta.” Jawabku singkat. Karena cuma satu orang saja, aku putuskan membawa
kereta untuk menjemput teman tersebut.
“Waahhhh
hebat bisa bawa kereta. Loh emangnya di Banda Aceh ada kereta?” terus mata si teman melotot.
“Hahahahaaaa…misunderstanding
nih.”
Pastilah
kereta yang dimaksud oleh temanku itu jenis angkutan massal kereta api yang populer di Jawa.
Sedangkan istilah kereta di Aceh merujuk pada jenis kendaraan mesin roda
dua alias sepeda motor.
Oh
ya, kereta adalah istilah yang juga sangat populer di Medan. Di Malaysia,
istilah kereta digunakan untuk menyebut sebuah mobil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar