Masih ingatkah kita tentang sekumpulan
burung putih diatas langit Krueng Raya yang terbang berarak menuju ke daratan?
Dan tak lama setelah itu, tsunami menghancurkan apa saja yang dilewatinya.
Yaa…alam memberi banyak tanda-tanda jika kita bijak “membaca”nya.
Setelah tsunami, Banda Aceh (mungkin) adalah satu-satunya tempat
di Indonesia yang memiliki rambu-rambu peringatan terhadap bahaya tsunami di
beberapa bagian kotanya. Jujur, tidak ada yang berharap tsunami akan kembali
namun rambu-rambu itu tetap harus dipahami oleh masyarakat pesisir agar mampu
mengantisipasi jika tanda-tanda tsunami muncul kembali.
Sehingga tidak ada lagi kejadian, ketika
air surut, orang beramai-ramai mendekati untuk melihat isi laut. Yang seharusnya
dilakukan adalah mencari daerah atau dataran lebih tinggi. Hal ini bisa
terjadi akibat minimnya pengetahuan kita terhadap gelombang tsunami, tanda-tanda
yang mengikutinya serta antisipasi terhadap hal tersebut.
Rambu-rambu tersebut hadir beberapa tahun
setelah tsunami pada 26 Desember 2004, meluluhlantakkan pesisir barat dan
sebagian pantai timur Aceh. Bahkan terjangan ombaknya mencapai pantai-pantai di
Malaysia, Thailand, India, Srilanka dan sebagian kecil Afrika.
Sangat mudah menemukan rambu-rambu ini, terutama
di kawasan Lampaseh hingga ke Ulee Lheue. Dari Lam Jamee hingga Lhok Nga di
Aceh Besar. Juga seputaran Lampulo, Kuala hingga arah menuju Krueng Raya.
Setelah tsunami juga, kehadiran rambu-rambu ini
menjadi begitu penting. Tapi apakah itu saja cukup? Tentu tidak. Tanpa
mengecilkan kehadiran rambu-rambu ini sebagai sebuah usaha mulia dari
pemerintah kota serta dukungan lembaga lainnya, tanda-tanda yang dibuat oleh
manusia ini juga seharusnya mengajarkan kita untuk bersikap lebih bijak dalam
memperlakukan alam. Karena alam memberikan tanda-tanda yang jauh lebih baik
daripada rambu-rambu itu sendiri.
Mangrove sebagai buffer alam
Pertengahan
era 80-an, jika kita menuju Kuala yang terlihat dikiri-kanan jalan hanyalah mangrove
dengan akarnya yang unik. Jalan aspal
adalah satu-satunya bagian hitam yang membelah dominasi hijau tua hutan
mangrove. Membentang sekian kilometer tempat beragam habitat hidup. Bandingkan
sekarang, mulai dari Kampung Lamdingin sampai Kuala kita sudah disambut oleh
jajaran toko dan deretan rumah penduduk.
Kini
orang-orang mulai memahami pentingnya arti menanam kembali mangrove. Kenapa
menanam kembali? Karena kawasan yang sekarang ditanami, dulunya adalah hutan
mangrove itu sendiri. Akibat perlakuan “barbar” kita terhadap alam, mangrove
ditebang untuk dijadikan lahan tambak ikan atau udang. Ketika hasil tambak
tidak lagi mendukung secara ekonomi, lahan ditimbun dijadikan kapling-kapling
untuk membangun hutan beton dimana manusia bersemayam didalamnya.
Padahal,
hutan bakau adalah buffer terbaik alam. Ia mampu melindungi daratan dari
terjangan gelombang laut. Bahkan ombak setinggi 4 meter dapat diredam menjadi
setinggi satu meter. Pohon bakau dari jenis terbaik dapat mencapai ketinggian
30 meter, itu artinya jika ada gelombang tinggi yang datang tentu tidak akan
merangsek sampai ke tengah kota.
Dengan
akar yang unik seperti garpu yang menancap ke tanah inilah, lumpur dan pasir
menjadi tetap terikat di pesisir pantai dan muara. Bukan itu saja, akar
mangrove memberi rongga –rongga bagi ikan, kepiting, udang serta hewan lainnya
memperoleh tempat yang aman untuk menitipkan telur dan membesarkan anaknya.
Smong
dan kearifan lokal masyarakat Simeulue
Smong
adalah gelombang pasang besar seperti halnya tsunami yang terjadi pada 1907 di
Pulau Simeulue. Tidak ingin mengalami jumlah korban yang sama dimasa mendatang,
masyarakat Simeulue yang selamat dari bencana dahsyat tersebut menceritakannya
secara turun temurun tentang smong dan gejala-gejala alam yang mendahuluinya kepada
cucu atau anak-anak mereka. Penuturan lisan tersebut disebut nafi-nafi. Melalui
nafi-nafi, kisah sedih di hari jum’at 14 Januari 1907 tetap lestari. Sehingga
generasi yang tidak mengalami smong dimasa tersebut tetap memiliki pengetahuan
yang cukup mengenai smong dan gejala-gejala alam yang berpotensi mendatangkan
smong, sang gelombang besar itu.
Terbukti,
ketika tsunami Aceh merenggut ratusan ribu nyawa, dengan kearifan lokal melalui
nafi-nafi yang diceritakan secara turun temurun, tidak banyak korban yang
berjatuhan di Pulau Simeulue. Padahal pulau ini langsung menghadap titik gempa
di Lautan Hindia.
Manusia
memang tak ada yang mampu meramal kapan bencana akan muncul. Tak mampu
juga mengelak ketika bencana datang.
Namun kita akan mampu meminimalisir jatuhnya korban jika kita memperlakukan
alam lebih bijaksana. Mampu membaca tanda-tanda jika setia memelihara kearifan lokal seperti yang dilakukan
masyarakat Pulau Simeulue melalui nafi-nafi.
Bencana
menunjukkan betapa kecilnya manusia ditengah alam semesta ini.