Banda Aceh menurut saya termasuk kategori kota yang bersih. Tapiiiiiiiii..... itu karena kerja maksimal petugas kebersihan. Trus anda bangga gitu? Gak perlu lah ya.
Anda baru boleh berbangga kalau Banda Aceh ini bersih karena adanya kesadaran
masyarakat dalam menjaga kebersihan.
Secara
pribadi saya sangat mengapresiasi kinerja petugas kebersihan tapi tidak untuk
masyarakat kota Banda Aceh itu sendiri. Lho? Iya dong, masyarakat kita itu jauh
dari disiplin membuang sampah di tempat yang sudah disediakan. Kontradiktif
sekali.
Mau
bukti? Pernah sekali waktu di seputaran Neusu, saya melihat bocah perempuan
membuang sampah kemasan makanan instant dari dalam sebuah mobil mewah. Mobil
mewah pastilah isinya keluarga berpunya…….punya mobil maksudnya tapi gak punya
otak. Dan kejadian seperti ini bukan sekali saja saya saksikan.
Kebayang
gak sih gimana cara mendidik ala orang tua “berpunya” tersebut terhadap anak-anaknya?
Sampai tega melempar bekas kemasan snack ke jalan raya disaat mobil sedang
melaju dan ada banyak kendaraan lain dibelakangnya. Pfuuih, contoh yang gak
boleh ditiru. Don’t try this wherever you are.
Kasus
lain. Setiap selesai sebuah event besar di Taman Sari maka kita bisa
menyaksikan sampah bertebaran. Pengunjung “menitipkan” sampah dimana saja mereka
suka. Padahal, kalo kita mau meluangkan waktu sedikit saja untuk berjalan kaki,
ada banyak tempat sampah mengitari taman yang terletak di depan Kantor Walikota
ini. Lagi-lagi dalihnya “Ada petugas kebersihan kok”. Gubrak tuing tuing!!!
Contoh
yang lain lagi, perhatikan Pasar Aceh, kawasan Peunayong atau ruas jalan utama
di kota Banda Aceh serta pemukiman penduduk pada hari pertama lebaran (Idul
Fitri dan Idul Adha) disaat petugas kebersihan tidak bekerja. Maka sampah berserakan
dimana-mana terutama di depan Pasar Aceh dan bau menyengat disekitar perumahan.
Karena
itu saya berani bertaruh, jika beberapa hari saja petugas kebersihan tidak
bekerja maka Banda Aceh bukanlah tempat yang layak dan nyaman buat dikunjungi.
Masih
mau kasus lainnya? Nih, saat anda ngopi di café, mendekati tengah malam coba
perhatikan lantai café yang anda tongkrongin. Sampah puntung rokok disertai
abunya bertebaran dilantai café. Padahal disetiap meja sudah disediakan asbak. Para
perokok benar-benar menerapkan prinsip “asbak seluas lantai”. Ini yang membuat
saya makin percaya bahwa “perokok itu jorok”.
Tapi
yang paling tragis buat saya adalah suasana lapangan Blang Padang dan lapangan
terbuka lainnya selepas sholat idul fitri. Dalam hitungan kurang dari satu jam,
lapangan berubah menjadi lautan sampah koran.
Jamaah
yang baru selesai beribadah menganggap sampah koran itu nantinya akan
menghasilkan uang buat pemulung. Hallooooo……bapak, ibu, agam, inong mikir dong kalau
ngomong, pemulung sekarang juga milih-milih apa yang akan mereka pungut untuk
dijadikan uang. Mereka gak akan mau mengambil koran yang basah akibat tertimpa
sajadah diatas rumput, lecek dan sudah koyak. Sadar atau tidak, sebenarnya anda
sedang melecehkan Tuhan lho. Gimana gak melecehkan coba, anda beribadah dalam
keadaan bersih (karena sebelumnya diharuskan berwudhu’) namun selepas ibadah
anda melalaikan begitu saja nilai agama dalam menjaga kebersihan hanya karena
berharap akan ada orang lain yang akan membersihkan atau memungutnya.
Bukankah
kebersihan itu sebagian dari iman? Seharusnya ia tidak menjadi jargon belaka.
Saya
jadi ingat ucapan seorang teman “Pahala dan dosa itu kita sendiri yang
tentukan”. Wahhh dalam banget nih kalimat. Heheheee. Maksudnya begini, kalau
anda membuang sampah sembarangan karena nantinya anda merasa sudah “berbuat
baik” memberi pekerjaan kepada petugas kebersihan atau pemulung yang akan
memungutnya, anda salah besar. Anda jauh lebih baik jika meringankan pekerjaan mereka.
Tidak ada salahnya menyimpan bungkus permen di kantong celana atau genggam saja
dulu bungkus plastic sampai anda menemukan tempat yang pantas untuk
membuangnya. Toh, sikap anda untuk ikut andil menjaga kebersihan juga berdampak
baik bagi lingkungan dan diri anda sendiri.
Sudah
cukup banyak bencana akibat sampah di Indonesia. Jakarta adalah salah satu
contoh terbaru, bagaimana sebuah ibukota negara (malu-maluin banget sih
sebenarnya) bisa membunuh warganya gara-gara sampah yang menggunung di kali
ciliwung dan pada akhirnya tak mampu menampung debit air yang datang dari kota
Bogor pada saat musim hujan.
Belum
lagi jika dikaitkan dengan industri pariwisata, sebagus atau seindah apapun
destinasi wisata yang ditawarkan tapi jika kotor, bau dan banyak lalat yang
beterbangan, pelancong akan berpikir dua kali untuk kembali mengunjungi tempat
tersebut.
Ayolah….untuk
urusan sampah jangan terlalu bergantung dengan kerja petugas kebersihan dong. Kalau
bisa meringankan kerja mereka kenapa harus membuang sampah sembarangan? Dan reward
dari Allah juga menanti kita lho.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar