Beberapa
waktu belakangan melalui berbagai media, kita seringkali disuguhkan berita-berita
kekerasan atas nama agama. Meski dilakukan sekelompok kecil masyarakat –persentasenya
sangat kecil malah- tetap saja cap sebagai kelompok yang intoleransi disematkan
untuk saudara sesama muslim. Sehingga buat sebagian orang, Islam terasa begitu
menakutkan.
Media
juga terkadang tidak bersikap adil dalam pemberitaan. Buat mereka, sejauh
berita tersebut dapat menaikkan oplah harian mereka ditambah dengan
memanfaatkan rasa ingin tahu masyarakat yang berlebihan maka diberitakanlah isu-isu
intoleransi tersebut dengan kecenderungan yang berat sebelah. Cover both side
terinjak-injak dikaki sebagian para pemburu berita.
Mungkin
buat sebagian besar media apalagi media-media sekular, isu toleransi dianggap terlalu biasa. Tidak
punya nilai jual. Sebaliknya, isu-isu intoleransi itu dianggap jauh lebih
“sexy”. Buat saya, menjual isu-isu
intoleransi terlalu mainstream. Karena itu, catatan kali ini bercerita tentang
penerapan nilai-nilai harmoni dan toleransi yang sudah berjalan ratusan tahun di sepanjang
ruas jalan Teungku Di Anjung. Pada sebuah pemukiman dalam cakupan negeri syariah islam yang
bernama Gampong Keudah.
Menurut
beberapa sumber, Keudah adalah nama yang disematkan untuk sebuah pemukiman yang
bersisian dengan Krueng (sungai) Aceh sejak berabad lalu. Berdasarkan cerita, bahwa dulunya disinilah tawanan-tawanan perang dari Negeri Kedah,
Malaysia ditempatkan atas penaklukan yang dilakukan bala tentara Sultan Aceh.
Gampong
Keudah dan sepanjang ruas jalan Teungku Di Anjung, termasuk Gampong Peulanggahan
dan Gampong Jawa adalah bentuk awal pemukiman kosmopolit yang menjadi bagian
dari cikal bakal Kota Banda Aceh. Jadi tak usah heran kalau di kawasan ini mudah sekali ditemukan
komunitas India, Arab, Cina dan campuran dari beragam suku di Indonesia
terutama Minang, Jawa, Batak dan Bugis terutama sampai 2004 (sebelum tsunami). Semuanya berbaur tanpa ada yang merasa
yang satu lebih super dari yang lain. Meski berbeda dalam keyakinan, mereka
hidup berdampingan tanpa ada benturan. Disini mereka melihat persamaan bukan
mencari-cari perbedaan.
Jika
Gampong Peulanggahan bisa disebut sebagai “Kampung Arab” dan Kampung Jawa adalah
representasi “Indonesia Mini” di Banda Aceh, maka Gampong Keudah lebih unik,
selain didominasi suku Minang dan Jawa, disini juga bermukim orang-orang India
dan Cina.
Sebagai
bukti eksistensi mereka, di Keudah Muka –warga
lokal sering membagi Gampong Keudah menjadi dua bagian, Keudah Muka dan Keudah
Belakang- dapat kita jumpai satu kuil Hindu yang masih tersisa. Dahulu,
disepanjang ruas jalan Teungku Di Anjung ada 2 kuil masyarakat India, yaitu
milik suku Tamil dan Punjab. Namun
setelah tsunami meluluhlantakkan Kota Banda Aceh, kini yang bertahan setelah
dibangun kembali adalah kuil masyarakat India Tamil, kuil Palani Andawer.
Sewaktu
masih kecil –tentu saja sewaktu masih sangat imut dan menggemaskan- saya sering
melihat seorang pandita dari suku Tamil yang melakukan ritual agama disebuah
tempat pemujaan disudut jalan Malem Dagang dan jalan Teungku Muda, Keudah. Kuil Siwen namanya. Sebuah
bangunan berstruktur susunan bata yang diplester kasar dan secara keseluruhan
bentuknya menyerupai candi, namun akibat tsunami, bangunan tersebut luluh lantak tak bersisa. Sekarang
dilahan tersebut telah berdiri Kantor Baitul Mal Kota Banda Aceh.
Bukan
saja cara sembahyangnya yang unik tapi juga cara berpakaian dan bahasa
tubuh Pandita tersebut yang mengingatkan saya pada sosok Mahatma Gandhi. Sosok Pandita tersebut kecil bertubuh ringkih dan berkulit gelap dibalut kain putih yang dililit selingkar pinggang namun tetap semangat dalam
menjalankan Ibadah meski cuma sendiri.
Menurut
tutur orangtua, dahulunya upacara pembakaran mayat secara Hindu juga sering
dilakukan di Keudah Belakang. Namun kini tak ada lagi.
Selain
India, peranan komunitas Cina di Keudah juga tak bisa diabaikan. Disini, orang-orang
Cina sebagian besar membuka warung kopi. Dan pelanggannya adalah warga lokal
penikmat kopi. Namun suasana tersebut tidak bisa dijumpai lagi karena ketika
tsunami, Gampong Keudah adalah salah satu kawasan yang hancur total diterjang
gelombang tsunami. Berdampak pada hilangnya sebagian besar penduduknya, termasuk warga keturunan. Namun,
kini kita masih bisa menemukan sisa-sisa pengaruh “jiwa bisnis” warga Cina
yaitu masih dapat kita lihat pabrik pengolahan kopi yang dimiliki oleh warga
keturunan Cina di Keudah Belakang.
Berbeda
dan menjadi minoritas bukan berarti tak ada ruang buat kaum minoritas berekspresi. Disini,
disebuah sudut kawasan di negeri syariah islam, toleransi sudah dipraktekkan tanpa
harus digembar-gemborkan. Dan hal itu sudah berjalan puluhan bahkan ratusan tahun. Namun
terkadang, kita sering kali meributkan perbedaan tanpa memberi solusi daripada
mencari persamaan dalam keragaman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar