“Banda Aceh terus membangun taman kota dan ruang terbuka hijau tapi hanya satu dua taman kota yang benar-benar dirawat dan dipelihara. Kealpaan kita membuat
taman-taman yang ada ibarat pengemis di tengah kota, compang camping.”
#1. Taman Pembibitan Krueng Aceh
Inilah
satu-satunya ruang terbuka hijau di Kota Banda Aceh dengan konsep terbaik yang
pernah saya temukan. Konsep yang mengangkat semangat taman Bustanussalatin yang
indah dan kaya akan ragam tanaman di masa Sultan Iskandar Muda.
Dalam
kitab Bustanussalatin karya Nuruddin Ar-Raniry disebutkan bahwa taman
Bustanussalatin memiliki 130 jenis tanaman bunga dan buah khas Aceh. Saat ini, hanya 90% tanaman yang berhasil
diidentifikasi. Jenis tanaman dan buah khas Aceh yang berhasil diidentifikasi
dan masih dapat ditemukan tersebut, kemudian dibibitkan. Lokasi yang dipilih
untuk pembibitan adalah bantaran Krueng Aceh di jalan Cut Mutia.
Hingga
kini, semangat taman Bustanussalatin itu terus terjaga. Hal itu terlihat dari
hari ke hari taman ini semakin teduh dan asri oleh tanaman bunga dan buah hasil
pembibitan. Ya…vegetasi yang ada di taman ini seperti oase ditengah kota. Tempat
mencari keteduhan bagi pejalan kaki disaat terik mentari membakar kulit dan
menciptakan dahaga.
Diawal
kehadirannya pada 2 Agustus 2008, taman yang menempati areal seluas 1000 m2 ini
menjadi pilihan warga untuk bersantai di sore hari. Para remaja berkumpul di
dek kayu yang bersisian langsung dengan Krueng Aceh. Sementara itu, para
orangtua bercengkerama bersama anak-anak
mereka dibawah gazebo ditengah taman. Malam hari tempat ini menjadi lokasi yang
romantik melihat kerlap-kerlip lampu pada sisi bawah jembatan Pante Pirak atau
duduk menatap bulan saat purnama di atas langit kota Banda Aceh.
Namun
sayang, mendekati tahun kelima kehadirannya sebagai ruang terbuka hijau, banyak sekali fasilitas pendukung taman yang tidak terawat, rusak dan hilang. Misalnya dari 8
dek dan 1 dermaga yang dibangun hampir seluruhnya mengalami kerusakan sedang dan berat. Mulai dari landasan
papan dek yang kupak-kapik, lapuk akibat perubahan cuaca serta tidak adanya
perawatan. Sebagian railing kayu yang hilang entah kemana, ornamen kabel baja
yang menghiasinya putus hingga plat besi pendukung railing yang lepas dari
sambungannya.
Perhatikan
foto sebelah kiri, yang saya ambil di tahun 2009 saat ia masih berusia setahun. Awalnya,
diatas dek disediakan kursi taman bagi pengunjung tapi perhatikan gambar-gambar selanjutnya
yang saya ambil pada 11 Maret 2013.
Foto diatas bukanlah "instalasi seni" atau bentuk 3 dimensi Contemporary art pada sebuah ruang terbuka hijau, melainkan cermin masyarakat Banda Aceh yang barbar dan bentuk ketidakpedulian Pemerintah Kota terhadap keberlanjutan sebuah taman kota.
Inilah wajah kita, gampang membangun -karena menganggap sebuah projek itu jauh lebih menguntungkan- tapi sulit sekali memelihara. Perawatan dan pembangunan berkelanjutan menjadi "barang langka" di Nanggroe ini. Ditambah lagi dengan tidak adanya rasa memilki pada masyarakat sebagai pengguna utama taman-taman dan ruang terbuka hijau di kota. Tragis!
Welcome to Banda Aceh.