Minggu, 01 Desember 2013

Warna Warni, Warna Lokal #1

Menyenangkan sekali memiliki banyak teman dari segala penjuru nusantara dengan ragam latar belakang yang berbeda. Ketika berkumpul, maka pada saat melakukan pembicaran akan muncul beragam istilah yang terkadang membingungkan tapi jika kita terbuka dan mampu menjelaskan dengan baik maka kebingungan akibat perbedaan istilah tersebut akan menjadi pembahasan yang menarik dan menjurus lucu tanpa ada salah satu pihak pun yang merasa dilecehkan atau tersinggung.
  
#1. Misalnya saja istilah “Uang Pecah”.

Suatu ketika, saat mengantar teman menuju Bandara Sultan Iskandar Muda, di Aceh Besar. Mobil kami harus berhenti di pintu gerbang bandara untuk membayar retribusi. Kebetulan pada saat itu didalam mobil tidak tersedia uang pecah yang biasa diletakkan dekat persneling. 

Dalam posisi sebagai driver, repot sekali rasanya harus merogoh saku celana untuk mengeluarkan uang pecah. Saya melirik teman disamping dan bertanya “Ada uang pecah gak?” Si teman tampak kebingungan terbukti dari bahasa tubuhnya yang menaikkan kedua bahu dan menengadahkan kedua telapak tangannya. Melihat situasi seperti itu, saya kembali meminta “Tiga ribu rupiah aja, untuk bayar retribusi masuk bandara.” Masih dalam keadaan bingung, teman saya dengan cepat mengeluarkan uang kertas senilai tiga ribu rupiah. 

Selepas melewati gerbang, teman saya dengan wajah kebingungan bertanya “Uang pecah itu apaan sih, sejenis uang parkir atau uang retribusi gitu?” Saya baru sadar, ternyata tidak semua orang familiar dengan istilah disuatu tempat atau daerah, apalagi kalau daerah tersebut baru sekali dikunjungi. 

Istilah uang pecah cuma dikenal dibeberapa kota di sumatera. Istilah ini digunakan untuk menyebut uang kecil atau uang receh yang popular di Pulau Jawa. Setelah menjelaskan istilah uang pecah, si teman mangut-mangut sambil bergumam “Ohh saya kira uang pecah itu, uang yang kondisinya retak-retak!” Glekk.


#2. Burung Gereja

Banyak sekali wisatawan dan warga lokal yang mengakui jika berada dalam area Masjid Raya Baiturrahman di kota Banda Aceh akan merasa begitu nyaman. Perasaan nyaman itu sendiri bisa jadi tercipta karena interior masjid yang ditopang puluhan pilaster (tiang) sebagai struktur dengan lengkung bawang sebagai ornament mampu mengarahkan sirkulasi angin secara alami dengan sangat baik. Juga didukung langit-langit yang tinggi. 

Jadi, sepanas apapun cuaca diluar sana, pengunjung yang berada didalam masjid tetap merasa adem. Tak sedikit pula yang percaya, karena doa-doa yang tak putus-putusnya dipanjatkan para jamaah menjadikan masjid ini begitu tentram. Apalagi menjelang sore hari, suara mengaji anak-anak yang duduk berkelompok dilantai masjid menambah ketenangan hati para pengunjung dan jamaah masjid.

Selagi rebahan selepas sholat ashar di Masjid yang menjadi saksi bisu bencana tsunami ini, aku dan seorang teman dari luar propinsi Aceh menatap ke langit-langit masjid yang dipenuhi ornamen dengan motif sulur (floral). Ia melihat begitu banyak burung-burung kecil beterbangan melintas diatas kami.
“Arie, apa nama burung-burung kecil itu?” temanku mulai membuka percakapan.
“Orang-orang menyebutnya burung gereja.” Jawabku sambil menikmati kicauan nyaring si burung kecil yang beterbangan didalam masjid.
“Tapi kenapa mereka lebih banyak berkeliaran didalam masjid ya?” Yaelaahhhh ni kawan, itu kan hanya sebuah penyebutan. Hanya sebuah nama. Huuhh pake dibahas lagi.
“Ooohh....burung-burung itu sebelumnya sudah masuk islam.” Jawabku sekenanya.
“Kalau gitu, kenapa namanya gak diganti aja jadi burung masjid?” Jiiaaahhhh panjang deh pembahasannya.
“Ya udah, ntar kita usulin ke pemerintah Aceh untuk dibuat qanun (peraturan daerah) tentang pergantian nama burung gereja menjadi burung muallaf aja. Gimana?”


#3. Kereta 
“Hei Ri, apa kabar? Lama banget gak ketemu ya.” Seorang teman lama dari Semarang yang meminta untuk dijemput di Bandara Sultan Iskandar Muda memelukku erat-erat. Setelah itu aku langsung sesak nafas. Heheheee
“Naik apa kemari?” kemudian si teman melanjutkan pertanyaan.
“Bawa kereta.” Jawabku singkat. Karena cuma satu orang saja, aku putuskan membawa kereta untuk menjemput teman tersebut.
“Waahhhh hebat bisa bawa kereta. Loh emangnya di Banda Aceh ada kereta?” terus mata si teman melotot.
“Hahahahaaaa…misunderstanding nih.”

Pastilah kereta yang dimaksud oleh temanku itu jenis angkutan massal kereta api yang populer di Jawa. Sedangkan istilah kereta di Aceh merujuk pada jenis kendaraan mesin roda dua alias sepeda motor.

Oh ya, kereta adalah istilah yang juga sangat populer di Medan. Di Malaysia, istilah kereta digunakan untuk menyebut sebuah mobil.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar