Pulau Pinang atau Penang (orang Malaysia menyebutnya dengan
ejaan keinggris-inggrisan, Peneng) diambil dari nama pohon pinang yang banyak
tumbuh di pulau ini.
Sejak dibuka oleh Kapten Francis Light pada tahun 1786, pulau yang berada di jalur lintasan laut strategis di pantai barat semenanjung Malaysia ini banyak disinggahi oleh bangsa-bangsa asing hingga akhirnya mereka berusaha dan menetap disana. Kehadiran pelbagai
bangsa dan etnis, membentuk sifat kosmopolitan generasi yang mendiami Pulau
Pinang. Selain 3 kaum utama yaitu China, India dan Melayu. Negeri ini juga
turut menjadi tempat berkumpulnya bangsa-bangsa lain dari Asia Tenggara dan
Eropah. Suku bangsa Aceh adalah salah satunya, selain suku Jawa, Bugis dan
Minangkabau serta Burma dan Siam.
Sehingga pulau yang pernah terkenal dengan julukan “Pearl of
Orient” ini, bukanlah pulau asing bagi masyarakat serantau (Nusantara dan
sekitarnya).
Snouck Hurgronje pernah menulis “Bagi masyarakat Aceh,
Penang adalah gerbang menuju dunia dalam banyak hal terutama untuk memasarkan
produk mereka langsung menuju Eropa”. Jejak-jejak sejarah yang berkaitan dengan
perdagangan, ekonomi, agama dan pendidikan serta nilai-nilai kehidupan lainnya,
antara Aceh dan Pulau Pinang hingga kini masih dapat ditemukan pada beberapa
situs serta kawasan yang tersebar di Pulau Pinang dan beruntungnya, sebagian
besar masih dirawat dengan sangat baik.
#1 Lebuh Acheh
Lebuh atau Jalan Acheh terletak pada kawasan inti warisan
dunia (World Heritage Core Zone) Kota George Town. Pada masanya, jalur ini memiliki peran penting mendukung perkembangan kota George
Town karena pernah menjadi pusat persinggahan Jemaah haji dan pusat perdagangan
rempah. Pada masanya, Hampir sepanjang tahun Lebuh Acheh menjadi begitu hidup dan
semarak oleh kehadiran para Jemaah haji dan keluarga pengantar. Kehadiran dan
aktifitas mereka berdampak pada munculnya
kawasan perdagangan dengan rumah-rumah kedai sepanjang jalan yang menawarkan
beragam kebutuhan. Mulai dari rempah, makanan, buku-buku islam hingga jasa
pengurusan haji.
#2 Masjid Lebuh Acheh
Dari plakat yang ditempel pada tiang pintu masuk halaman
masjid dari sisi Lebuh Acheh, tertulis bahwa masjid ini dibangun oleh seorang
saudagar asal Aceh, Tunku Syeh Husain Idid pada tahun 1808. Begitu memasuki pekarangan masjid, pengunjung disambut oleh menara masjid
bersegi delapan dengan beberapa jendela kecil mengelilinginya. Arsitektur masjid
ini merupakan perpaduan 3 langgam arsitektur, Moor, China dan Klasik. Langgam arsitektur Moor dapat kita lihat pada
bentuk lengkung yang menghiasi façade bagian utara, timur dan selatan bangunan
masjid. Juga pada plesteran dinding dan mihrab pada interior masjid. Pengaruh
arsitektur China kuat sekali pada bangunan menara masjid yang merupakan representasi dari bentuk pagoda. Sedangkan gaya klasik dapat ditemui pada
tiang-tiang besar yang menghiasi façade dan beranda masjid. Seperti umumnya
peninggalan arsitektur masjid-masjid tua di nusantara, kita tidak akan
menemukan kubah pada bangunan utama masjid.
Di awal perkembangannya, selain berfungsi sebagai basis
masyarakat Islam di Penang, kehadiran Masjid Lebuh Acheh ini semakin istimewa
bagi para Jemaah haji karena komplek masjid ini selalu dipadati Jemaah hampir
sepanjang tahun terutama di musim haji. Perjalanan menggunakan transportasi
laut yang memakan waktu berbulan-bulan menjadikan komplek masjid ini diinapi
oleh para pengantar Jemaah haji selama menunggu mereka selesai menunaikan rukun
islam ke 5 di tanah suci Mekkah. Begitu seterusnya hingga musim haji berikutnya
tiba.
#3 Tengku Syed Hussain Al-Idid
Sejarah Lebuh Acheh dan Masjid Melayu Lebuh Aceh, tentu tak
bisa dilepaskan dari peran Tengku Syed Hussin Al-Idid, seorang bangsawan
sekaligus saudagar asal Aceh keturunan Arab dari Hadramaut, Yaman.
Kawasan “Aceh” di Pulau Pinang ini bermula dengan kedatangan
beliau pada tahun 1792. Beliau menetap dan berdagang sehingga menjadi pedagang
Aceh yang kaya dan sukses ketika Penang baru dibuka oleh Kapten Sir Francis Light. Dengan kekayaan tersebut, Tengku Syed Hussain
Al-Idid akhirnya membuka kawasan di Lebuh Acheh. Membangun masjid, menara,
rumah tinggal, rumah kedai, madrasah serta kantor perdagangan.
Peninggalan lain beliau berupa rumah tinggal yang terletak di
sudut antara Lebuh Acheh dan Lebuh
Armenian, masih dapat dilihat sampai sekarang. Rumah yang pernah dijadikan Museum
Islam Penang, kondisinya kini cukup menyedihkan. Terbengkalai dan tidak
terawat, seperti tampak pada foto terakhir disebelah kanan. (last photo taken by Song Boon Chong).