Rabu
yang terik. Kondisi Banda Aceh saat itu belum terlalu siang tapi cuaca sudah mulai menyengat kulit. Sekumpulan awan bertebaran dan menghiasi langit diatas kota Banda Aceh namun bayang-bayang awan yang jatuh ke permukaan tanah tak juga membuat suasana lebih teduh. Beberapa menit menjelang pukul
setengah sebelas, aku meninggalkan rumah dalam kondisi gerah sambil membawa sebuah dry bag dan ransel. Lalu menaiki becak menuju Lampulo. Sedikit terlambat dibanding
Khairil dan Bahrul, 2 teman perjalanan yang sudah tiba di Lampulo sejak pukul 10 pagi. Nasib baik, begitu tiba di Lampulo, angin
kencang yang berhembus dari laut sedikit menetralisir rasa gerah yang melanda
tubuh. Angin kencang yang datang bersamaan dengan aroma ikan segar.
Lampulo adalah sebuah perkampungan nelayan di muara Krueng Aceh (Sungai
Aceh). Kawasan ini boleh jadi lebih tua usianya dari kota Banda Aceh. Disini
warna warni kapal nelayan berjajar di kiri dan kanan sungai. Mulai dari jembatan Peunayong hingga ke muara Krueng Aceh dan Lampulo berada tak jauh dari muara tersebut. Datanglah
pada jumat pagi saat nelayan tak melaut maka kemeriahan warna warni
kapal kayu akan lebih sempurna berpadu dengan aroma anyir ikan segar, bau laut yang datang bersama hembusan angin, aktifitas nelayan diatas kapal-kapal kayu, lalu lalang para pembeli ikan yang datang dari kota, kesibukan para
pedagang (mugee) yang menawarkan ikan pada sebuah keranjang rotan besar, semuanya
menyatu pada sebuah kawasan nelayan yang bernama Lampulo.
Bukan
tanpa alasan aku berada di Lampulo hari itu. Ya, siang nanti kami -aku, Khairil, Bahrul dan Reza- akan menyeberang ke
Pulo Breuh (Pulau Breuh) dari Lampulo. Pulo Breuh merupakan pulau terbesar di gugusan Pulo Aceh dan masuk dalam wilayah Kabupaten Aceh Besar. Perjalanan
ini sudah lama direncanakan namun selalu tertunda karena kesibukan
masing-masing. Halangan rupanya belum berakhir, pada hari keberangkatan Reza mendadak tak dapat ikut namun ia akan menyusul di hari berikutnya, kamis siang. Oohhh #t-shirt_tragedy hahahaaaaaa :)
Karena ini kali pertama kami akan mengunjungi Pulo Breuh yang berada di wilayah administratif kecamatan Pulo Aceh, kami sepakat berkumpul di Lampulo pukul 11 meski jadwal keberangkatan kapal jam 2 siang. Waktu panjang yang tersisa kami isi dengan mencari infomasi sebanyak mungkin tentang lokasi tujuan. Info bisa didapat dari siapa saja, dari nakhoda, pawang laut, pemilik kapal penyeberangan, pekerja yang mengangkut barang ke kapal, penumpang yang baru tiba atau yang akan berangkat bahkan pedagang makanan disekitar dermaga pun kami mintai informasi.
Sebelumnya sudah banyak info yang ddapat dari teman-teman yang pernah mengunjungi pulau yang memiliki teluk-teluk indah. Meski kami fikir terlalu banyak info bisa bikin bingung tapi harus diimbangi juga dengan info-info secara langsung. Biasanya informasi yang bersumber langsung dari orang-orang yang sering bepergian ke Pulo Breuh lebih akurat daripada searching di google. Heheheeee
Setelah
informasi yang didapat dirasa cukup, kami duduk dan menunggu diatas dermaga kayu
sederhana berukuran 7 kali 3 meter. Letak dermaga di bibir Krueng Aceh hanya dipisahkan oleh tembok tebal setinggi 1 meter dengan jalan raya. Di dermaga ini juga sedang bersandar 2 kapal kayu, KM Sulthan Bahari dan KM Jasa Bunda. Kedua kapal ini menempuh rute Pulo Breuh namun kapal pertama merapat di dermaga Lampuyang sedangkan satu
lagi mendarat di dermaga desa Gugop. Kami
memilih opsi pertama, selain berangkat lebih awal, jarak tempuh menuju Lampuyang
sedikit lebih cepat dari pada tujuan Gugop.
Kesibukan
di dermaga menjadi tontonan pada siang yang terik, kesibukan para pekerja yang
mengangkut sepeda motor dan barang-barang kebutuhan untuk dibawa ke Pulo Breuh.
Pukul
2 lebih 10 menit, KM Sulthan Bahari bergerak meningalkan dermaga kayu ditepi
Krueng Aceh. Meninggalkan semua
kesibukan di kawasan nelayan terbesar di Banda Aceh. Kapal bergerak diiringi gerimis yang datang
tiba-tiba. Cuaca memang sulit ditebak siang itu. Begitupun laut. Ombak tenang
yang kami rasakan diawal penyeberangan jauh berbeda ketika kapal berada di
tengah laut antara Ulee Lheue dan Pulau Weh. Dan ombak semakin bergelora ketika
kapal melintas dilepas pantai antara Ujung Pancu dan Pulau Nasi. Seorang perempuan belia yang duduk disebelah
kanan ku tak bersuara. Ia tampak takut dan memeluk tiang kapal erat-erat. Sedangkan aku? Hmmmmm takut juga sih.
Setelah
menempuh perjalanan laut selama 1 jam 40 menit (10 menit lebih lama dari
perkiraan karena ombak dan angin kencang), akhirnya Sulthan Bahari merapat di
dermaga desa Lampuyang. Ada pemandangan unik ketika kapal mendekati Lampuyang, kami disambut
oleh dua buah tanjung di kiri kanan.
Kedua tanjung tersebut saling berhadapan, mereka dipisahkan oleh permukaan air selebar 55 meter, seperti selat kecil tempat kapal keluar-masuk. Bentang alam itu membentuk "gerbang alami" bagi kapal yang akan merapat di Lampuyang atau keluar menuju laut. That’s really a perfect natural gate. Puncak kedua tanjung tersebut dipenuhi jajaran pohon kelapa. Siluetnya tampak cantik kala matahari terbit. (Bersambung)
Kedua tanjung tersebut saling berhadapan, mereka dipisahkan oleh permukaan air selebar 55 meter, seperti selat kecil tempat kapal keluar-masuk. Bentang alam itu membentuk "gerbang alami" bagi kapal yang akan merapat di Lampuyang atau keluar menuju laut. That’s really a perfect natural gate. Puncak kedua tanjung tersebut dipenuhi jajaran pohon kelapa. Siluetnya tampak cantik kala matahari terbit. (Bersambung)